Kamis, 08 Juli 2010

hubungan antara ilmu psikologi dan ilmu ekonomi

Ilmu Psikologi dalam Ilmu Ekonomi
________________________________________
Bila dilihat secara sepintas, kedua bidang ilmu di atas memang tidak ada hubungannya satu sama lain, namun pada kenyataannya, kedua bidang ilmu tersebut sangat terkait satu dengan yang lainnya. ilmu psikologi adalah ilmu tentang kejiwaan manusia, sementara ilmu ekonomi adalah ilmu tentang kebutuhan tubuh dan jiwa manusia. bahkan di dalam ilmu ekonomi, khususnya pada bagian marketing management dan human resource management, ilmu psikologi benar-benar digunakan sebagai basis dari segala proses pengambilan keputusan untuk mencapai tujuan perusahaan: profit yang sebesar-besarnya serta keunggulan daya saing dalam jangka panjang.

jiwa manusia juga memiliki kebutuhan, seperti layaknya tubuh manusia yang memiliki kebutuhan. hanya bedanya, jiwa manusia memiliki kebutuhan spiritual/emosi, sementara tubuh manusia memiliki kebutuhan fisik. jiwa manusia hanya bisa dirasakan keberadaannya melalui perasaan dan pemikiran, sementara tubuh manusia sudah bisa dirasakan keberadaannya melalui panca indera. namun bagaimanapun, baik jiwa maupun tubuh manusia ditakdirkan untuk saling mempengaruhi. apa yang terjadi pada jiwa manusia akan mempengaruhi kondisi tubuhnya, dan apa yang terjadi pada tubuh manusia akan mempengaruhi kondisi jiwanya.
contoh yang mudah, ketika intonasi suara, raut wajah, dan gaya tubuh seseorang yang sedang sedih akan terlihat berbeda dengan intonasi suara, raut wajah, dan gaya tubuh orang lain yang sedang bahagia.

secara umum, menurut abraham maslow ada 2 macam kebutuhan manusia sesuai dengan urutannya dari yang paling basic hingga ke yang paling sophisticated, yaitu:
1. kebutuhan dengan naluri hewani, yaitu kebutuhan yang juga dimiliki oleh hewan
2. kebutuhan dengan naluri manusiawi, yaitu kebutuhan yang hanya dimiliki oleh manusia

kedua macam kebutuhan ini dibagi lagi menjadi 5 jenis kebutuhan manusia sesuai dengan urutannya dari yang paling penting hingga ke yang paling ga penting, yaitu:
yang termasuk kebutuhan dengan naluri hewani (kebutuhan tubuh) adalah:
1. kebutuhan fisiologis
2. kebutuhan sekuritas
3. kebutuhan sosial
yang termasuk kebutuhan dengan naluri manusiawi (kebutuhan jiwa) adalah:
4. kebutuhan akan pengakuan diri dari lingkungannya
5. kebutuhan akan aktualisasi diri terhadap potensinya






kelima jenis kebutuhan ini bekerja dengan sangat berurutan, sesuai tingkatannya dari yang paling penting hingga ke yang paling ga penting. bila kebutuhan yang kurang penting belum mampu dicapai, maka kebutuhan yang lebih penting takkan tercapai. misalnya, kebutuhan seseorang akan sekuritas belum tercapai, maka takkan mungkin kebutuhan sosialnya akan muncul. namun bila kebutuhan seseorang akan aktualisasi diri terhadap potensinya mulai muncul, maka dipastikan kebutuhan akan pengakuan diri dari lingkungannya sudah terpenuhi.

Walaupun kebutuhan akan pengakuan diri dan aktualisasi diri sifatnya benar-benar sangat jiwa, namun kebutuhan fisiologis, sekuritas, dan sosial juga mempengaruhi jiwa manusia. pada intinya, ada koneksi antara kejiwaan manusia dengan kebutuhan manusia, ada koneksi antara ilmu psikologi dan ilmu ekonomi. bahkan, bisa dikatakan bahwa segala macam yang berhubungan dengan jiwa manusia bisa dilihat dari segi ekonomi, karena semuanya memiliki obyek yang sama: manusia.

mengenal kecerdasan emosional remaja

Mengenal Kecerdasan Emosional Remaja


Masa remaja dikenal dengan masa storm and stress dimana terjadi pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan secara psikis yang bervariasi. Pada masa remaja (usia 12 sampai dengan 21 tahun) terdapat beberapa fase (Monks, 1985), fase remaja awal (usia 12 tahun sampai dengan 15 tahun), remaja pertengahan (usia 15 tahun sampai dengan 18 tahun) masa remaja akhir (usia 18 sampai dengan 21 tahun) dan diantaranya juga terdapat fase pubertas yang merupakan fase yang sangat singkat dan terkadang menjadi masalah tersendiri bagi remaja dalam menghadapinya.
Fase pubertas ini berkisar dari usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 16 tahun (Hurlock, 1992) dan setiap individu memiliki variasi tersendiri. Masa pubertas sendiri berada tumpang tindih antara masa anak dan masa remaja, sehingga kesulitan pada masa tersebut dapat menyebabkan remaja mengalami kesulitan menghadapi fase-fase perkembangan selanjutnya. Pada fase itu remaja mengalami perubahan dalam sistem kerja hormon dalam tubuhnya dan hal ini memberi dampak baik pada bentuk fisik (terutama organ-organ seksual) dan psikis terutama emosi.
Pergolakan emosi yang terjadi pada remaja tidak terlepas dari bermacam pengaruh, seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah dan teman-teman sebaya serta aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Masa remaja yang identik dengan lingkungan sosial tempat berinteraksi, membuat mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri secara efektif. Bila aktivitas-aktivitas yang dijalani di sekolah (pada umumnya masa remaja lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah) tidak memadai untuk memenuhi tuntutan gejolak energinya, maka remaja seringkali meluapkan kelebihan energinya ke arah yang tidak positif, misalnya tawuran. Hal ini menunjukkan betapa besar gejolak emosi yang ada dalam diri remaja bila berinteraksi dalam lingkungannya.
Mengingat bahwa masa remaja merupakan masa yang paling banyak dipengaruhi oleh lingkungan dan teman-teman sebaya dan dalam rangka menghindari hal-hal negatif yang dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain, remaja hendaknya memahami dan memiliki apa yang disebut kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional ini terlihat dalam hal-hal seperti bagaimana remaja mampu untuk memberi kesan yang baik tentang dirinya, mampu mengungkapkan dengan baik emosinya sendiri, berusaha menyetarakan diri dengan lingkungan, dapat mengendalikan perasaan dan mampu mengungkapkan reaksi emosi sesuai dengan waktu dan kondisi yang ada sehingga interaksi dengan orang lain dapat terjalin dengan lancar dan efektif.
Apa Sih Kecerdasan Emosional
Goleman (1997), mengatakan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya. Lebih lanjut Goleman mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam meghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.
Sementara Cooper dan Sawaf (1998) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan, untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya Howes dan Herald (1999) mengatakan pada intinya, kecerdasaan emosional merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. Lebih lanjut dikatakannya bahwa emosi manusia berada diwilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati, kecerdasaan emosional menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain.
Dari beberapa pendapat diatas dapatlah dikatakan bahwa kecerdasan emosional menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain dan untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. 3 (tiga) unsur penting kecerdasan emosional terdiri dari : kecakapan pribadi (mengelola diri sendiri); kecakapan sosial (menangani suatu hubungan) dan keterampilan sosial (kepandaian menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain).
Komponen-Komponen Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional bukan merupakan lawan kecerdasan intelektual yang biasa dikenal dengan IQ, namun keduanya berinteraksi secara dinamis. Pada kenyataannya perlu diakui bahwa kecerdasan emosional memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai kesuksesan di sekolah, tempat kerja, dan dalam berkomunikasi di lingkungan masyarakat.
Goleman (1995) mengungkapkan 5 (lima) wilayah kecerdasan emosional yang dapat menjadi pedoman bagi individu untuk mencapai kesuksesan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu :
Mengenali emosi diri

Kesadaran diri dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosional. Pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasaan dari waktu ke waktu agar timbul wawasan psikologi dan pemahaman tentang diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat diri berada dalam kekuasaan perasaan. Sehingga tidak peka akan perasaan yang sesungguhnya yang berakibat buruk bagi pengambilan keputusan masalah.
Mengelola emosi

Mengelola emosi berarti menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat, hal ini merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri. Emosi dikatakan berhasil dikelola apabila : mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat dari semua itu. Sebaliknya orang yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus menerus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal negatif yang merugikan dirinya sendiri.
Memotivasi diri

Kemampuan seseorang memotivasi diri dapat ditelusuri melalui hal-hal sebagai berikut : a) cara mengendalikan dorongan hati; b) derajat kecemasan yang berpengaruh terhadap unjuk kerja seseorang; c) kekuatan berfikir positif; d) optimisme; dan e) keadaan flow (mengikuti aliran), yaitu keadaan ketika perhatian seseorang sepenuhnya tercurah ke dalam apa yang sedang terjadi, pekerjaannya hanya terfokus pada satu objek. Dengan kemampuan memotivasi diri yang dimilikinya maka seseorang akan cenderung memiliki pandangan yang positif dalam menilai segala sesuatu yang terjadi dalam dirinya.
Mengenali emosi orang lain

Empati atau mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan pada kesadaran diri. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia akan terampil membaca perasaan orang lain. Sebaliknya orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain.
Membina hubungan dengan orang lain

Seni dalam membina hubungan dengan orang lain merupakan keterampilan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain. Tanpa memiliki keterampilan seseorang akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial. Sesungguhnya karena tidak dimilikinya keterampilan-keterampilan semacam inilah yang menyebabkan seseroang seringkali dianggap angkuh, mengganggu atau tidak berperasaan.
Dengan memahami komponen-komponen emosional tersebut diatas, diharapkan para remaja dapat menyalurkan emosinya secara proporsional dan efektif. Dengan demikian energi yang dimiliki akan tersalurkan secara baik sehingga mengurangi hal-hal negatif yang dapat merugikan masa depan remaja dan bangsa ini.

pejuang dr kupang

Mengenang Perjuangan Pahlawan Nasional I.H. Doko



Dilahirkan pada tgl. 20 Nopember 1913 d Sabu,sebuah pulau kecil di lautan Hindia; Cak (nama panggilan Izaak Huru Doko), dalam usia masih sangat muda sudah menjadi .anak yatim. Setamat sekolah desa 3 tahun didesanya ia harus meninggalkan pulau Sabu untuk menuntut ilmu ke pulau Timor. Ia begitu giat belajar sehingga berhasil mendapatkan bea siswa untuk melanjutkan sekolah ke MULO di Ambon dan akhirnya berhasil pula mendapatkan bea siswa ke HIK bovenbouw di Bandung.

Dikota Bandung tempat ia menuntut ilmu, bersama pemuda Herman Johannes yang menjadi mahasiswa Technische Hogeschool memimpin para pemuda/mahasiswa daerah seasalnya dalam De Timorsche Jongeren. Disekolah ini pula ia berkenalan dengan pemuda Abdul Haris Nasution yang menjadi adik kelasnya. Hubungan mana tetap berlanjut di waktu kemudian dimana masing-masing melaksanakan tugas sebagai abdi negara RI.

Pada tahun 1937 pemuda Cak Doko menamatkan sekolahnya dan ditempatkan sebagai guru muda pada Openbare Schakel School di kota Kupang, ibukota keresidenan Timor. Dengan motto: “memerangi kemiskinan dan ketertinggalan melalui pendidikan” ia banyak berhasil membimbing kader perpendidikan didaerahnya. Iapun aktif dalam politik dengan membentuk sekaligus menjadi ketua partai poitik “Perserikatan Kebangsaan Timor” yang berazaskan Nasionalis/Kebangsaan dengan tujuan mencapai Indonesia merdeka.

Ketika Jepang mendarat di p.Timor pada tahun 1942 sekolah-sekolah ditutup dan beliau diangkat sebagai Kepala Bunkyo Kakari (Pengajaran/Penerangan) dikantor Menshebu. Selama pendudukan Jepang, ia tetap mempelopori perjuangan Indonesia merdeka dalam surat kabar “Timor Syuho yang diasuhnya. Dan sebagai pejabat dan jurnalis yang dengan bebas dapat berhubungan dengan Kempetai (polisi militer Jepang), beliau mengerakkan pemuda Timor untuk melapor dan mencegah kebrutalan tentera Jepang khususnya dalam menggagahi wanita Timor. Bahkan ia pernah berkelahi dengan seorang tentera Jepang yang mengganggu seorang wanita.

Ia bersama H.A.Koroh (Raja Amarasi) pada th. 1944 diangkat menjadi anggota Syo Sunda Shu Ki Yin (Dewan Perwakilan Rakyat Sunda Kecil) yang berkedudukan di Singaraja Bali.
Pada tanggal 29 April 1945, Jepang menyerahkan bendera Merah Putih kepada kedua tokoh ini, yang kemudian dikibarkan dalam suatu upacara dilapangan Oepura.

Pada waktu Jepang bertekuk lutut dan tentera Australia/sekutu mendarat di pulau Timor, Cak Doko bersama Tom Pello mengorganisir tenaga-tenaga Nasionalis untuk menghadapi Pemerintah Reaksioner Belanda (NICA) bersama kaki tangannya yang membonceng pendaratan tentera Sekutu.

Tanggal 22 Agustus 1945, dalam sebuah rapat raksasa beliau berpidato didepan Penguasa Jepang dan rakyat Amarasi tentang perjuangan rakyat Timor untuk memperoleh kemerdekaan, dan pada tanggal 24 Agustus 1945, Jepang menyerahkan kekuasaan Pemerintahan Kota Kupang kepada Dr. Gabeler, Tom Pello dan I.H.Doko.

Beliau kemudian mendirikan dan mengetuai Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Timor sebagai penjelmaan Perserikatan Kebangsaan Timor (PKT). Beliau turut aktif dalam penyelesaian masalah pemulangan para Heiho dan Romusha yang umumnya didatangkan bala tentera Jepang dari pulau Jawa.

Pada Konperensi Malino 1946 beliau menjadi Penasehat utusan daerah Timor dengan mandat untuk memperjuangkan “zelfbeschikkingsrecht” bagi bangsa Indonesia, tetap mempertahankan negara kesatuan RI dan menghapuskan korte verlaring dari daerah-daerah swapraja. Karena kegigihan dan keteguhan dalam memperjuangkan aspirasi untuk merdeka dalam negara kesatuan RI, van Mook (Gubernur Jenderal) menamakannya: “ayam jantan dari Timor” (buku: Malino bouwt een Huis).

Pada bulan Nopember 1947 menjadi anggota parlemen Negara Indonesia Timur (NIT). Dalam kedudukan ini ia bertentangan pendapat dengan Tom Pello yang menolak bekerja sama dengan Belanda dalam bentuk apapun. Dengan prinsip bahwa suatu perubahan dapat dibuat bila kita berada dalam lingkungan itu maka jabatan tersebut diterimanya.

Kemudian ia dipilih oleh parlemen menjadi Menteri Muda Penerangan NIT. Bersama dengan kelompok nasionalis dilingkungan NIT beliau ikut membentuk dan menjadi Pengurus Gabungan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (GAPKI) di Makassar yang diketuai Arnold Mononutu Beliau kemudian diangkat sebagai Menteri Penerangan NIT dengan dukungan fraksi-fraksi Progressif yang berjuang melalui BFO agar merdeka hanya bersama RI, membantu perjuangan RI dan mengembalikan Presiden dan Wakil Presiden serta Pemeintah RI ke Yogyakarta. Karena perjuangan ini NIT diakui secara resmi oleh Pemerintah RI.

Pada tanggal 14 Maret 1950 dalam Kabinet Anak Agung Gde Agung beliau diangkat sebagai Menteri Pengajaran NIT dalam lingkungan RIS. Dan sering bertindak mewakili Perdana Menteri berhubung Perdana Menteri sering meninggalkan Makasar untuk konsultsi dengan Pemerintah RI-Yogyakarta.

Dalam rangka pembubaran Negara Indonesia Timur, beliau bertugas sebagai wakil Sekretaris Jenderal Kementrian Pengajaran NIT dalam kabinet Likwidasi dibawah Ir. Putuhena (bekas Menteri PUT-RI di Yogya). Beliau sempat ditahan saat APRI dibawah pimpinan Kol. Kawilarang mendarat dan menduduki kota Makassar, tetapi kemudian dibebaskan tanpa syarat.

Beberapa jabatan penting di-ibu kota negara RI: Jakarta ia tolak dan ingin lebih membaktikan diri pada bidang pendidikan didaerah. Demikian pula Desakan beberapa partai politik seperti Parkindo, PNI dll yang mencalonkannya sebagai Gubernur pertama NTT, beliau tolak dengan alasan yang sama yaitu ingin mengabdi dibidang pendidikan. Jabatan Kepala Inspeksi Pengajaran Sunda Kecil berkedudukan di Singaraja (Bali) beliau pegang sejak 1950 s/d 1958 dan sehubungan dengan pemekaran daerah dan terbentuknya propinsi NTT ditahun 1958, beliau diangkat menjadi Kepala Perwakilan Dep. P dan K prop. NTT berkedudukan di Kupang yang dipangkunya sejak 1958 sampai saat pensiun ditahun 1971, dengan pangkat . Pegawai Utama, golongan IV/D. Untuk jasanya dalam bidang pendidikan ini Pemerintah Indonesia melalui Dep. Sosial menganugerahkannya Bintang Sosial dengan gelar Pahlawan Pendidikan.

Pada tahun 1957 beliau menjadi anggota perutusan Propinsi Sunda Kecil ke Musyawarah Nasional I dan II dalam usaha mempersatukan kembali Dwi Tunggal Soekarno-Hatta, dan dalam tahun 1961 menjadi Anggota Front Nasional Nusa Tenggara Timur dan Anggota team Indoktrinasi NTT. Pada Gerakan 30 September tahun 1965 oleh PKI, beliau termasuk dalam daftar orang yang harus dilenyapkan.

Sampai dengan masa pensiunnya beliau tetap aktif dalam berbagai jabatan dibidang Pendidikan, Gerejani dan Sosial a.l. dengan mengetuai Yayasan Pendidikan Kristen NTT (Yupenkris), Dewan penyantun APDN, mendirikan Akademi Teologia Kupang, mendirikan Universitas Kristen Artha Wacana, Kupang; Dekan Koordinator IKIP Malang Cabang Kupang, Anggota Presidium dan Dewan Penyantun Universitas Nusa Cendana-Kupang, Penasehat Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), Ketua Palang Merah Indonesia NTT. Dalam jabatan sebagai Ketua PMI ini beliau pernah harus mundar mandir dari Kupang ke Surabaya untuk mengantar para pengungsi dari Timor Portugis sehubungan pergolakan ditahun 1974, 2 sampai 3 kali penerbangan dalam sehari selama sekitar 1 bulan. Untuk pengabdian kemanusiaannya ini Palang Merah International yang berkedudukan di Swiss memberikan Piagam Penghargaan.

Atas jasa-jasa beliau, Pemerintah RI dengan Keputusan Presiden RI Nomor: 085/TK/Tahun 2006 tanggal 3 Nopember 2006 menganugerahi Bintang Mahaputera Adipradana dan Gelar Pahlawan Nasional dalam suatu upacara di Istana Negara pada tanggal 9 Nopember 2006.

candi borobudur indonesia

Pengantar
Dijadikannya Candi Borobudur sebagai salah satu tujuan wisata utama di Indonesia telah memberikan sumbangan yang tidak kecil pada peningkatan devisa negara. Pengunjung Candi Borobudur Baru tahun ke tahun cenderung meningkat. Peningkatan jumlah pengunjung di satu pihak dapat menambah pendapatan negara dan masyarakat di sekitarnya, tetapi di lain pihak juga dapat mengancam kelestarian candi ini. Candi yang dibangun kira-kira abad VIII pada masa pemerintahan wangsa Sailendra ini telah kurang lebih 1260 tahun berada di alam terbuka, artinya bahan bangunan yang terbuat dart batu andesit itu juga telah mengalami proses degradasi (pelapukan) oleh faktor waktu dan alam.
Meningkatnya jumlah pengunjung ke Candi Borobudur akan memberikan dampak kurang baik bagi upaya pelestarian warisan budaya. Oleh karena itu, perlu dibuat wilayah peredam yang dapat mengham¬bat pengunjung agar tidak naik bersama-sama ke candi, yaitu dengan membuat taman wisata di lingkungan candi. Keberadaan taman wisata diharapkan membuat pengunjung akan tersebar ke berbagai penjuru taman. Dengan tersebarnya pengunjung akan mengurangi beban yang ditanggung oleh bangunan candi (Tanudirjo, 1993-1994).
Ada dua faktor utama penyebab terjadinya degradasi pada bangunan candi, yaitu faktor dari dalam dan luar. Faktor dari dalam biasanya disebabkan oleh keroposnya bangunan itu sendiri, seperti konstruksi dan bahan penyusunnya. Faktor dari luar adalah pengaruh lingkungan biotik, abiotik, dan khernis. Kerusakan yang disebabkan oleh faktor biotik adalah tumbuhnya tanaman tingkat tinggi ( ilalang, perdu, pohon-pohon besar ) dan tanaman tingkat rendah (lumut, jamur, jamur kerak, dan algae). Selain itu, kerusakan juga disebabkan oleh aktivitas manusia, baik secara disengaja maupun tidak disengaja. Kerusakan disengaja seperti corat-coret, pencurian, pengotoran, batu penyusun jatuh karena dipanjat, sedangkan kerusakan tidak disengaja seperti terjadinya keausan batu pada lantai bangunan dan kerontokan. Kerontokan terjadi akibat pembersihan gulma pada batu candi dengan menggunakan sikat.
Candi Borobudur sebagai Objek Wisata
Keputusan menjadikan Candi Borobudur sebagai salah satu daerah tujuan wisata yang penting di Indonesia karena keberadaan bangunan ini tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai yang melekat padanya yaitu nilai ekonomi, estetika, asosiatif, informasi (Subroto, 2003), historis, dan arkeologis (Soetomo, 1996).
Nilai ekonomi (economic value) berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya arkeologi sebagai objek budaya yang dapat memberikan manfaat ekonomi bagi pemiliknya. Jika suatu peninggalan budaya dijadikan objek wisata budaya, maka akan memberikan dampak ekonomi pada lingkungan sekitarnya, terutama pada peningkatan penghasilan masyarakat dan menambah devisa negara.
Nilai estetika (aesthetic value) adalah nilai keindahan yang dapat menarik dan atau mendorong wisatawan untuk berkunjung ke tempat itu. W.O.J. Nieuwenkamp beranggapan bahwa bentuk candi Borobudur itu pada dasarnya merupakan bentuk bunga padma (lotus). Maka jika dilihat dari atas tingkat Kamadhatu dan Rupadhatu dapat disamakan dengan kelopak-kelopak dari bunganya, sedangkan tingkatan Arupadhatu, tempat stupa-stupa itu berada, dianggap sama dengan putik¬putik sarinya.(Subroto, 2003).
Nilai asosiatif (associative value) adalah asosiasinya dengan lingkungan atau bangunan-bangunan lain yang ada di sekitarnya, atau sumber-sumber lain seperti mata air, serta tinggi rendah lokasi candi. Keberadaan Sungai Elo dan Sungai Progo yang dianggap suci oleh umat Buddha di Indonesia diasosiasikan dengan Sungai Gangga dan Sungai Jamuna di India. Selain itu, Candi Borobudur diyakini juga seperti bunga teratai di tengah danau.
Nilai informasi (information value), berhubungan dengan aspek teknologi, filsafat, agama, etika, dan norma. Nilai informasi Candi Borobudur dapat diamati dari aspek filosifi dari bentuk bangunan candi, latar belakang keagamaan, pendidikan etika, dan norma yang diajarkan di dalam penggambaran relief-relief candi.
Nilai historis (historic value) adalah nilai kesejarahan yang dimiliki suatu objek atau peristiwa-peristiwa penting yang melibatkan objek tersebut. Nilai historis bangunan Candi Borobudur dapat diketahui, baik dari sumber tertulis, seperti prasasti dan karya sastra, maupun sumber tak tertulis, misalnya gaya bangunan, seni area, dan unsur-unsur bangunan lainnya.
Nilai arkeologi (archaeological value) adalah nilai yang berkaitan dengan kekunaan yang meliputi bentuk arsitektur, tahapan pembangunan, dan temuan artefak di sekitarnya. Bentuk arsitektur Candi Borobudur adalah perpaduan antara arsitektur Indonesia asli yang ditandai dengan empat tingkat berundak menyerupai punden yakni ciri khas bangunan yang diperuntukkan bagi pemujaan roh nenek moyang (Soekmono, 1982) dengan arsitektur India yang dicirikan oleh bentuk stupa sebagai puncaknya. Stupa sendiri adalah prototip dari makam raja yang berbentuk kubah dari timbunan bata atau tanah yang disebut "tumulus" (Brown, 1976).
Pengunjung Candi Borobudur
Pengunjung Candi Borobudur dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Berdasarkan laporan tahunan Balai Studi dan Konservasi Borobudur, lima tahun pertama di era delapan puluhan, rata-rata kunjungan ke Candi Borobudur berkisar antara 1.000.000 - 1.500.000 orang. Memasuki tahun sembilan puluhan, terjadi kenaikan jumlah pengunjung yang sangat besar yaitu 1.750.000 - 2.500.000 orang. Puncak kunjungan pada tahun sembilan puluhan ini terjadi pada tahun 1997 dengan jumlah kunjungan mencapai 2.750.000 orang. Di penghujung tahun sembilan puluhan situasi politik dan keamanan Indonesia kurang baik yang disebabkan oleh gerakan reformasi untuk mengganti kepemimpinan nasional. Akibat dari gerakan tersebut adalah tidak adanya jaminan keamanan, kepastian hukum, dan kenyamanan berusaha. Kenyataan di atas juga berpengaruh pada jumlah pengunjung Candi Borobudur. Masyarakat takut mengadakan perjalanan karena di berbagai media massa diberitakan bahwa kondisi keamanan di Candi Borobudur pada waktu itu sangat memprihatinkan. Kelakuan pengasong yang memaksa wisatwan untuk membeli dagangannya, munculnya pre¬man-preman di tempat parkir, dan terjadinya penodongan membuat orang takut untuk berwisata ke Candi Borobudur bahkan di tempat-¬tempat wisata lainnya seperti Candi Prambanan. Jumlah wisatawan hanya 1.500.000-an orang, sama dengan jumlah wisatawan pada tahun delapan puluhan.
Kenyataan itu tidak berlangsung terlalu lama karena pada tahun 2000 terjadi lonjakan pengunjung mencapai 2.750.000 orang. Keberanian orang datang berkunjung ke Candi Borobudur mulai pulih kembali karena jaminan keamanan mulai terjaga.
Aksi teroris, yang terjadi di penghujung tahun 2001 dan 2002, tampaknya tidak terlalu berpengaruh pada jumlah pengunjung Candi Borobudur sampai pada tahun 2003. Pada tahun-tahun ini, jumlah pengunjung Candi Borobudur menembus angka dua jutaan, bahkan tahun 2001 jumlah pengunjung candi Borobudur di atas 2.500.000 or¬ang.
Dampak Pemanfaatan Candi Borobudur sebagai Objek Wisata
Tidak dapat disangkal bahwa kehadiran wisatawan ke Borobudur telah membawa dampak positif yang sangat besar pada masyarakat sekitarnya seperti peningkatan ekonomi rakyat dan terbukanya lapangan kerja baru walaupun juga terdapat dampak negatif seperti menipisnya nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat Borobudur.
A. Dampak terhadap Masyarakat di sekitarnya
Ada tiga macam dampak pariwisata terhadap masyarakat di sekitar Candi Borobudur yang diteliti, yaitu ekonomi, sosial, dan budaya. Dari tiga macam dampak tersebut, dampak ekonomi merupakan dampak yang relatif paling mudah untuk diketahui.
Dampak ekonomi dalam konteks penelitian ini adalah aktivitas-aktivitas baru untuk memperoleh penghasilan atau sarana untuk bertahan hidup, yang muncul sebagai akibat adanya perubahan pemanfaatan Candi Borobudur setelah dilaksanakannya pemugaran. Aktivitas untuk memperoleh penghasilan ini dapat berupa pola-pola baru, misalnya tukar-menukar barang ataupun jasa seperti munculnya rumah-rumah makan, hotel, pengasong, dan industri kerajinan.
Jika ada dampak ekonomi positif seperti dikemukaan di atas, tentu saja ada juga dampak negtifnya. Dampak negatif terjadi pada beberapa orang yang tanahnya harus dibebaskan untuk pembangunan Taman Wisata Candi Borobudur. Sebagian dari mereka ada yang dapat ditampung sebagai karyawan taman wisata tersebut, sebagian lagi mendapat prioritas untuk memperoleh tempat berjualan atau membuka usaha di sekitar taman wisata, sedangkan sebagian yang lain hanya memperoleh ganti rugi. Mereka yang termasuk dalam kategori terakhir inilah yang tampak memperoleh dampak negatif.
Berbeda dengan dampak ekonomi yang tampak begitu jelas, dampak sosial pemanfaatan Candi Borobudur tidak begitu mudah dipaparkan. Jika aspek sosial dari dampak didefinisikan sebagai aspek relasi-relasi sosial dan pola-pola perilaku dari warga masyarakat, maka dampak sosial ini dapat diketahui dengan memperhatikan data tentang relasi-relasi dan pola-pola perilaku tersebut.
Relasi-relasi baru yang muncul pascapemugaran atau setelah dijadikannya Candi Borobudur sebagai objek wisata seperti paguyuban tukang andong, paguyuban pengasong, paguyuban pengkios, bahkan dalam tataran yang lebih besar muncul beberapa Lembaga Suadaya Masyarakat (LSM) seperti MAPAN, PATRA PALA, dan lain-lain.
Dampak sosial negatif pemanfaatan Candi Borobudur untuk pariwisata tidak begitu tampak di desa tempat penelitian. Dampak sosial negatif justru paling jelas terlihat di kawasan Taman Wisata Candi Borobudur sendiri. Kehadiran ratusan pengasong dan penjual jasa ini tidak hanya mempunyai kemungkinan merusak bagian taman dan membahayakan kelestarian Candi Borobudur itu sendiri, bahkan juga merusak citra pariwisata Indonesia khususnya di Borobudur.
Dampak budaya yang merupakan perubahan pada sistem pengetahuan, nilai, pandangan hidup, norma, serta aturan-aturan yang ada dalam suatu masyarakat, sebagai hasil dari terjadinya perubahan-¬perubahan tertentu di dalamnya, merupakan dampak yang relatif paling sulit untuk diketahui. Dampak budaya ini tidak dapat begitu saja diamati, dan tidak selalu dapat dipaparkan dengan jelas oleh warga masyarakat yang diteliti. Namun demikian, hal itu dapat diketahui dengan memperhatikan berbagai perilaku dan interaksi sosial, serta bebagai bentuk ekspresi simbolis lainnya, misalnya munculnya berbagai macam bentuk kesenian baru.
Perubahan bidang kesenian belum sepenuhnya dapat dikatakan ada kaitannya dengan pemanfaatan Candi Borobudur sebagai objek pariwisata. Untuk jenis kesenian tertentu yang muncul setelah pemugaran, dapat terlihat jelas kaitannya dengan pemanfaatan candi dan meningkatnya kegiatan pariwisata di Desa Borobudur. Misalnya kesenian kroncong, cokekan, slawatan/rebana, dan kesenian dayak.
B. Dampak terhadap Candi
Kebijakan pemanfaatan Candi Borobudur tentu saja membawa dampak langsung terhadap bangunannya. Seperti halnya dengan dampak terhadap masyarakat di sekitarnya, bangunan candi juga mengalami dampak positif dan dampak negatif.
Keputusan pemerintah menjadikan Candi Borobdur sebagai objek wisata budaya membawa dampak positif terhadap bangunan dan situsnya, perlindungan dan pelestarian sumber daya budaya ini semakin diperhatikan. Pemintakatan (zonasi) yang dilakukan di situs Candi Borobudur merupakan salah satu upaya untuk melindungi Candi Borobudur dari kerusakan baik yang disebabkan oleh faktor manusia dan binatang maupun fatktor alam. Candi Borobudur dibagi menjadi tiga zone yaitu; Zone I adalah zone inti yang di dalamnya tidak boleh didirikan bangunan kecuali pos penjagaan, zone II adalah zone penyanggah berfungsi sebagai sabuk hijau pengaman, dan zone III adalah zone pengembangan yang diperuntukkan untuk kegiatan ekonomi dan perkantoran pengelola objek.
Dampak negatif yang dapat ditemukan di Candi Borobudur setelah Candi itu dijadikan objek wisata adalah vandalisme, sampah, keausan batu-batu candi, kerontokan, retakan, dan rembesan air. Kegiatan vandalisme banyak jenisnya seperti memanjat-manjat dinding candi dan stupa, pencungkilan relief, corat-coret, dan peledakan. Sampah yang ditemukan di Candi Borobudur berupa kertas pembungkus, sisa makanan, plastik, puntung rokok, kotoran manusia, daun, biji-bijian, buah-buahan, pecahan botol, kaleng minuman, dan abu. Sampah yang ukurannya kecil dapat masuk ke sela-sela batu yang pada akhirnya menyebabkan penyumbatan pada saluran air. Selain dapat menyumbat saluran-saluran air, sampah berupa biji-bijian seperti biji jeruk, rambutan dan salak dapat tumbuh di sela-sela batu Candi Borobudur.
Di Candi Borobudur, ditemukan beberapa batu penyusun yang mengalami keausan tersebar pada lantai dan tangga candi. Hasil penelitian tahun 1980-an menunjukkan bahwa di Candi Borobudur ditemukan 801 blok batu yang mengalami keausan (Sutantio, 1985), sedangkan hasil pengamatan di tahun 2000 jumlah batu yang mengalami keausan menjadi 1.383 blok batu (Sadirin, 2002), berarti terjadi peningkatan kerusakan sebesar 582 blok batu. Jika dirata-rata, setiap tahun terjadi keausan sebesar 36 blok batu. Terjadinya keausan pada batu candi disebabkan oleh gesekan antara pasir yang menempel pada alas kaki pengunjung dengan bate candi.
Hasil percobaan yang dilakukan oleh Sukronedi dan teman pada tahun 2000 menunjukkan bahwa akibat penggosokan yang dilakukan pada saat pembersihan gulma pada batu-batu candi, menyebabkan kerontokan pada bate yang berbeda-beda tergantung pada alat yang digunakan. Pada percobaan tersebut, digunakan sikat ijuk dengan panjang bulu sikat yang berbeda-beda yakni 3 cm, 2 cm, dan 1 cm. Luas bidang yang digosok adalah 100 cm2, tekanan penggosokan rata-rata 5 kg/cm2, serta lama penggosokan 10 menit dengan jumlah gosokan 100 kali gosokan.
Penggunaan sikat ijuk dengan panjang bulu sikat yang berbeda juga menghasilkan kerontokan yang berbeda pula. Sikat ijuk dengan panjang bulu sikat 3 cm menghasilkan kerontokan sebanyak 8,76 x 10-5 g/cm2 atau sama dengan 2,75 ml, sikat ijuk dengan panjang bulu sikat 2 cm menghasilkan kerontokan sebanyak 9,45 x 10-5 g/cm2 atau sama dengan 3,25 ml, dan sikat ijuk dengan panjang bulu sikat 1 cm menghasilkan kerontokan 18,52 x 10-5 g/cm2 atau sama dengan 6,25 ml (Sukronedi, 2000; 32)
Hasil observasi lapangan, sampai Desember 2003, menemukan retakan-retakan yang terjadi pada batu-batu Candi Borobudur sebanyak 1.536 batu. Penyebab keretakan dibedakan menjadi dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi beban yang harus ditanggung Candi Borobudur yang terdiri atas beban stabs dan beban dinamis, serta tumpuan tidak merata.
Salah satu faktor penting penyebab kerusakan Candi Borobudur adalah masalah air, terutama yang merembes pada batu-batu candi. Oleh karena itu, pemugaran yang dilakukan pada tahun 1973-1983 adalah kegiatan untuk mengatasi masalah air. Meskipun demikian, sampai sekarang masih dijumpai adanya rembesan air pada dinding candi. Hasil observasi, sampai dengan tahun 2002, ditemukan 112 lokasi rembesan yaitu 81 lokasi pada dinding lorong tingkat satu, 6 lokasi pada dinding lorong tingkat dua, 6 lokasi pada dinding lorong tingkat tiga, dan 19 lokasi pada dinding lorong tingkat empat (Sadirin, 2002).


Upaya Penanggulangan Dampak Negatif
Upaya yang harus dilakukan untuk meminimalisasi dampak negative yang timbul akibat pariwisata di Candi Borobudur adalah mengoptimalkan fungsi zone II dengan cara sebagai berikut.
Di setiap pintu masuk Taman Wisata Candi Borobudur, dipasang papan pengumuman yang isinya melarang wisatawan membawa makanan, alat tulis, dan benda tajam ke atas monumen kecuali minuman yang kemasannya dapat didaur ulang seperi air mineral. Larangan membawa barang selain minuman ke atas candi bertujuan untuk menghindari terjadinya kegiatan vandalisme dan pengotoran (sampah). Pelanggaran atas peraturan ini akan dikenai sanksi membayar denda berupa uang. Besarnya denda akan diatur dalam undang-undang berupa Peraturan Daerah yang ditetapkan oleh DPRD atas usulan Pemerintah Daerah dengan merujuk Undang-Undang no. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.
Pintu loket karcis dan pintu masuk diperbanyak agar pengunjung tidak terlalu lama antri untuk mendapatkan tiket tanda masuk, tujuannya adalah untuk menghindari tumpukan pengunjung di depan pintu masuk terutama pada waktu ramai pengunjung dengan demikian, mobilisasi pengunjung akan lancar sehingga pengunjung tidak berombongan naik ke monumen.
Setelah membeli karcis, pengunjung dipersilahkan melalui pintu masuk yang di belakangnya dibangun teater terbuka dengan layar lebar. Film yang diputar diupayakan ada kaitannya dengan Candi Borobudur mulai dari sejarah pembangunan sampai pada pemanfaatannya. Bagi wisatawan asing disediakan ear phone dengan empat pilihan bahasa, yaitu bahasa Ingris, Prancis, Jepang, dan Man¬darin.
Kebanyakan wisatawan yang mengunjungi Candi Borobudur adalah mereka yang berasal dari luar daerah Borobudur. Mereka ke Borobudur menggunakan berbagai macam kendaraan dan membutuhkan waktu dalam perjalanan. Selama dalam perjalanan para wisatawan tersebut tentu merasakan kelelahan, untuk itu di sepanjang jalan menuju monumen Candi Borobudur dibangun tempat-tempat duduk di bawah pohon yang rindang sebagai tempat istirahat melepas lelah sebelum naik ke monumen.
Pada waktu puncak-puncak kunjungan, seperti liburan sekolah dan liburan hari raya, di kiri-kanan jalan utama menuju monumen diadakan pertunjukan kesenian tradisional khas Borobudur seperti kesenian Kobro Siswa, Topeng Hitam (kadang-kadang disebut kesenian Dayak), dan Kesenian Jatilan, tujuannya menahan sejenak pengunjung agar tidak langsung naik ke candi. Dengan demikian, beban akibat banyaknya pengunjung dapat terkurangi.
Dibangun fasilitas baru di dalam kompleks Taman Wisata Candi Borobudur seperti akuarium atau kebun binatang dengan mengoleksi binatang-binatang yang sama dengan yang terdapat pada relief candi dengan desain yang sangat menarik agar pengunjung tertarik untuk melihatnya sebelum naik ke monumen Candi Borobudur.
Diatur jam kunjungan termasuk di dalamnya jumlah pengunjung yang ideal yang menaiki candi dalam waktu yang sama. Tujuannya adalah agar pengunjung dapat menikmati keindahan candi tanpa harus berdesak-desakan, disamping itu, juga dapat mengurangi beban yang ditanggung candi.
Beberapa upaya mengatur pengunjung di atas dimaksudkan untuk membatasi pengunjung (wisatawan) agar tidak bersamaan naik ke monumen. Pembatasan pengunjung tersebut dimaksudkan untuk membatasi beban dinamis yang harus ditanggung Candi Borobudur. Makin banyak pengunjung yang naik ke Candi Borobudur dalam waktu yang bersamaan, makin berat beban yang ditanggung oleh candinya. Makin berat beban makin besar kemungkinan terjadinya keretakan batu¬-batu penyusun candinya.
Kerusakan Candi Borobudur tidak semata-mata diakibatkan oleh pengunjung, tetapi juga diakibatkan oleh faktor alam dan penerapan metode konservasi yang kurang tepat pada saat pemugaran dan pasca pemugarannya. Kerusakan yang disebabkan oleh faktor alam tentu saja tidak bisa dihindari, tetapi kerusakan yang disebabkan oleh penerapan metode konservasi yang keliru tentu bisa diatasi.
Beberapa contoh penerapan metode konservasi yang keliru di Candi Borobudur adalah pembersihan batu dengan sikat ijuk tanpa memperhatikan panjang bulu sikatnya, pemasangan bahan kedap air yang tidak maksimal, dan dibuatnya jalan setapak di sekeliling monumen. Tujuannya untuk mengarahkan pengunjung agar tidak menginjak rumput yang di tanam di halaman candi. Jalan setapak yang mengelilingi candi itu dibuat dari pasir dan tanah liat. Namun, kenyataannya, pengunjung tidak terlalu tertarik untuk berjalan di tempat yang telah disediakan itu, bahkan mereka merasa tidak nyaman karena berdebu. Untuk menghindari kerusakan yang lebih lanjut, di bawah beberapa upaya yang perlu dilakukan.
Berkaitan dengan pembersihan batu-batu candi, sebaiknya digunakan sikat ijuk yang panjang bulunya 2 cm yang dapat membersihkan dengan hasil 100%, kern batuan candinya tidak terlalu banyak, yaitu 9,45 x 10 g/cm-3,25 cm3, berbeda dengan sikat ijuk yang panjang bulu sikatnya cm atau 3 cm. Sikat ijuk 1 cm (panjang bulu sikatnya) dapat membersihkan 100%, tetapi rontokannya sangat besar, yaitu 18,52 x 10 g/cm2 atau 6,25 cm3, sedangkan sikat ijuk dengan panjang bulu sikat 3 cm tidak memberikan hasil maksimal.
Dipasang karpet (keset) dari karet di depan tangga candi yang dimulai dari anak tangga paling bawah sampai pintu masuk atau keluar zone 1. Karpet (keset) tersebut berguna untuk mengikis pasir yang melekat pada alas kaki pengunjung.
Jalan setapak yang terbuat dari tanah liat dan pasir di sekeliling Candi Borobudur saat harus dibongkar, dikembalikan seperti semula, yaitu halaman rumput.
Berkaitan dengan rembesan air pada dinding candi, upaya yang perlu dilakukan adalah membongkar dinding candi yang rembes tersebut kemudian mengolesi atau mengganti kembali bahan kedap air yang pernah dipasang pada waktu pemugaran.
Kesimpulan
Pemanfaatan sumberdaya budaya Candi Borobudur telah membawa dampak positif ataupun negatif baik terhadap masyarakat di sekitarnya maupun candinya. Dampak positif terhadap masyarakat dapat dilihat dari peningkatan ekonomi dengan munculnya berbagai lapangan kerja baru seperti perhotelan, rumah makan, fotografer, dan pedagang asongan. Di bidang sosial budaya, dampak positif dapat dilihat dengan munculnya relasi-relasi baru dalam masyarakat seperti terbentuknya paguyuban andong wisata, becak wisata, munculnya kelompok-kelompok kesenian, bahkan pada tataran yang lebih besar muncul beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti PATRA PALA dan MAPAN. Dampak negatif dari pemanfaatan Candi Borobudur untuk pariwisata tidak begitu terlihat di desa Borobudur dan sekitarnya, namun mulai ditengarai dan dirasakan oleh masyarakat di sekitarnya seperti cara berpakaian dan pergaulan anak-anak muda meniru cara bergaul dan berpakaian orang-orang barat. Oleh karena itu, mereka mulai membentuk suatu yayasan yang dinamai Masyarakat Peduli Borobudur (MAPAN).
Berkaitan dengan dampak positif kegiatan pariwisata terhadap monumen Candi Borobudur adalah upaya perlidungan dan pelestarian sumberdaya budaya semakin diperhatikan. Upaya perlindungan dan pelestarian yang dilakukan adalah peningkatan yang bertujuan melindungi Candi Borobudur dari kegiatan vandalisme. Selain itu, dana untuk kegiatan teknis konservasi yang selama ini berasal dari dana APBN, mulai tahun 2004 direksi PT. Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko menyediakan dana untuk pelestarian Candi Borobudur. Sementara itu, dampak negatif juga terjadi di monumen Candi Borobudur akibat pariwisata dan kegiatan pelestarian seperti vandalisme, sampah, keausan, kerontokan, rembesan air, dan keretakan.
Daftar Pustaka
Ahimsa, Shri Heddy dan Muhammad Taufik. 2002. Dampak Ekonomi, Sosial, dan Budaya Candi Borobudur Pasca Pemugaran. Balai Studi dan Konservasi Borobudur. Magelang.
Brown, Percy, 1976. Indian Architecture, Budhist and Hindu Period. Toraporevala Sons & Co. Bombay.
Sadirin, Hr. 2002. Evaluation on Conservation of Monument and Site. Makalah. Disampaikan pada UNESCO Meeting on Evaluation of Borobudur Temple Past Restoration, 23-25 Oktober. Borobudur, Magelang.
Soetomo, Sugiono, 1996. "Konservasi Kota Lama Semarang dalam Prospek Pembangunan Kota". Makalah. Disampaikan pada Seminar Nasional Pemugaran dan Konservasi Benda Cagar Budaya, 23-24 September di Borobudur, Magelang.
Subroto, Ph. 2003. "Pemanfaatan Benda Cagar Budaya Bangunan Bata Pasca Pugar Untuk Kepentingan Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan". Makalah dalam Rapat Penyusunan Kebujakan Pemanfaatan BCB, April 2003, Cisarua, tidak dipublikasikan.
Sukronedi. 2000. "Efektivitas Pemberantasan Gulma pada Bataan Secara Fisik. Balai Studi dan Konservasi Borobudur. Borobudur".
Susantio Julianto.S. 1985. "Pengunjung dan MasaIah Konservasi Candi Borobudur: Sebuah Penelitian Pendahuluan". Skripsi Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Jakarta.
Tanudirjo, Daud Aris. 1993-1994. "Kualitas Penyajian Warisan Budaya kepada Masyarakat: Studi Kasus Manajemen Sumberdaya Budaya Candi Borobudur." Pusat Antar Universitas, Studi Sosial Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

pengertian komunikasi

Pengertian bagian – bagian di dalam Komunikasi

1. Lambang / Lisan / Pidato
Komunikasi adalah pertukaran gagasan atau pikiran yang lisan
2. Pemahaman
Komunikasi adalah proses dimana kita memahami orang lain dan pada gilirannya. Untuk dipahami oleh mereka, ini sesuatu yang dinamis, secara komstan mengubah dan menggeser jawaban atas situasi total.
3. Interaksi / Hubungan / Proses Sosial
Komunikasi adalah semacam interaksi bahkan pada tingkatan biologi jika tindakan untuk tidak bisa terjadi.
4. Pengurangan Ketidakpastian
Komunikasi muncul dari kebutuhan untuk mengurangi ketidakpastian, untuk bertindak secara efektif, mempertahankan atau meperkuat ego.
5. Cara
Komunikasi adalah proses yang menghubungkan bagian – bagian dari dunia yang hidup antara satu dengan yang lain.
6. Transfer / Transmisi / Pertukaran
Benang penghubung muncul sebagai ide dari sesuatu yang dikirimkan dari benda atau orang kepada hal lainnya. Istilah komunikasi kadang – kadang kita gunakan untuk menunjukkan apa yang di transfer / di kirimkan, kadang – kadang menunjukkan alat yang digunakan untuk mentransfer kadang – kadang juga untuk menunjukkan proses keseluruhan. Dalam banyak kasus apa yang di transfer, dalam hal ini diteruskan, diibagi menjadi, jika saya menyampaikan informasi kepada orang lain. Informasi yang saya berikan tidak begitu saja dapat diterima olehnya. Oleh karena itu “ Komunikasi ” tidak bisa dilepaskan / terikat dengan kata partisipasi, dalam pengertian ini, contohnya seorang yang taat kepada agamanya / kyai / pendeta berperan sebagai komunikator / tukang komunikasi.
7. Menghubungkan / Mengikat
Komunikasi adalah proses yang menghubungkan bagian – bagian yang terputus satu sama lain dalam kehidupan.
8. Penggunaan Komponen Sama
Hal ini ( Komunikasi ) adalah proses membuat sesuatu menjadi umum terhadap dua atau beberapa yang tadinya hal tersebut menjadi monopoli oleh satu atau beberapa.
9. Saluran / ALat Pengangkut / Kekayaan / Rute
Keinginan mengirimkan pesan militer, perintah dan lain – lain, melalui telephon, telegram, radio.
10. Mengingat Kembali.
Komunikasi adalah proses menghantarkan pesan dari orang lain untuk tujuan perbanyak memori.
11. Respon Pembeda / Tanggapan yang membedakan tingkah laku
komunikasi adalah respon perbeda dari suatu organisme terhadap suatu stimulus.
12. Stimulus.
Setiap komunikasi di pandang sebagai transfuse informasi terdiri atas rangsangan pembeda dari sumber ke penerima.
13. Bertujuan.
Utamanya komunikasi memiliki fungsi sentol sebagai suatu kondisi di mana suatu sumber mentransfusikan suatu pesan kepada penerima dalam keadaan sadar dengan tujuan mempengaruhi tujuan orang ke dua.
14. Waktu / Situasi
Proses komunikasi adalah salah satu transisi dari suatu situasi keseluruhan yang terstruktur, dalam rancangan yang telah di inginkan.
15. Kekuasaan.
Komunikasi adalah mekanisme di mana power / kekuasaan terpancarkan.

bahasa indonesia jurnalistik

BAB I
BAHASA INDONESIA JURNALISTIK

1.1 Apa itu Bahasa Jurnalistik
Menurut Wojowasito ( via Anwar, 1984;1 ), bahasa jurnalistik yang baik haruslah sesuai dengan norma tata bahasa yang antara lain terdiri atas susunan kalimat yang benar,pilihan kata yang cocok. Anton M.Moeliono ( 1994 ), yang konsultan pusat bahasa , pun mengatakan bahwa laras bahasa jurnalistik tergolonh ragam bahasa baku .
Terbuktilah bahwa bahasa indonesia jurnalistik tidaklah berbeda dengan bahasa indonesia baku .yang membedakan antara keduanya hanyalah penggunaannya.karena digunakan sebagai media penyampai informasi , bahasa yang digunakan di medi massa memiliki kekhasan tersendiri di banding dengan bahasa yang digunakan untuk keperluan lain . Rosihan Anwar ( 1984 : 1 ) mengatakan , “Bahasa Jurnalistik mempunyai sifat khas , yaitu singkat , padat , sederhana , jelas , lugas , dan menarik . “ Moelyono ( 1994 ) menambahi bahwa Bahasa Jurnalistik memiliki kekhasan diksi yang dicirikan oleh upaya ekonomi kata , kekhasan penglimatan yang ditandai oleh pemendekan kalimat .
Atau menurut Jus Badudu ( 1992:62 ) , bahasa jurnalistik itu harus sederhana , mudah dipahami , teratur dan efektif . Bahasa yang sederhana dan mudah dipahami berarti menggunakan kata dan struktur kalimat yang mudah dimengerti pemakai bahasa umum . Bahasanya teratur berarti setiap kata dalam kalimat sudah ditempatkan sesuai dengan kaidah . Efektif , bahasa pers haruslah tidak bertele – tele , tetapi tidak juga terlalu berhemat sehingga maknanya menjadi kabur .
Jadi bahasa Jurnalistik adalah bahasa yang digunakan oleh pewarta atau media massa untuk menyampaikan informasi . Bahasa dengan ciri – ciri yang khas memudahkan peeeenyampaian berita dan komunikatif .
1.2 Bahasa Jurnalistik di Antara Ragam dan Laras Bahasa Lain
Bahasa juralistik adalah sebuah laras bahasa.bahasa yang dignakan oleh kelompok profesi atau kegiatan dalam bidang tertentu. Oleh karena itu ada laras bahasa sastra , ekonomi , keagamaan. Masing – masing laras bahasa itu memiliki kosakata , struktur , dan lafal yang berbeda .
Sebagai media penyampai informasi laras bahasa jurnalistik tentu selalu bersinggungan dengan laras bahasa lain . bahasa jurnalistik tentu diharapkan mampu menjembatani antar laras bahasa itu . dengan kata lain pewarta dapat bereksplorasi dengan laras bahasa lain sehingga bahasa yang digunakan lebih variatif dan enak dibaca .
Bahasa jurnalistik pun harus akrab dengan ragam kedaerahan atau dialek. Karena bahasa yang dipakai untuk menyampaikan informasi tentang suatu peristiwa di daerah tertentu dapat lebih berwarna. Agar informasi yang disampaikan dapat lebih dipahami dan pembaca memahami bahwa peristiwa tersebut terjadi di suatu tempat .

Bahasa jurnalistik wajib memelihara bahasa indonesia . karena menurut Anton M. Moeliono ( 1994 ) antara laras bahasa jurnalistik danragam bahasa baku saling membutuhkan . ragam bahasa baku ingin menjadikan bahasa indonesia sebagai bahasa modern yang setara dengan bahasa lain di dunia adapun laras bahasa jurnalistik memerlukan pengungkapan diri secara modern .
Bahasa yang di gunakan media massa bersandar kepada bahasa baku tetapi pemakaian bahasa baku di media massa memang berbeda . struktur kalimatnya lebih longgar tidak normatif. Pilihan katanya pun lebih bebas tanpa beban perihal kebakuannya . yang menyebabkannya adalah karena bahasa jurnalistik harus bertutur dengan santai meskipun harus tetap memperhatikan norma – norma kebahasaan .
Bahasa jurnalistik berada diantara ragam baku resmi dan santai , antara bahasa lisan dan tulisan . dalam bahasa lisan struktur kalimat dan pilihan katanya jelas sangat tidak cermat . ketika disalin menjadi bahasa tulis di media massa tentu saja struktur kalimat dan pilihan katanya harus diperbaiki . karena bahasa tulis memiliki aturan – aturan yang tak dapat dilanggar , tetapi yang paling penting kesantaian dan kelancaran tutur bahasa lisan tetap tak ditanggalkan .
1.3 Jurnalistik Bahasa danSastra
Menurut Gorys Keraf pakar bahasa kepada harian Berita Buana ( 17 April 1991 ), dalam bahasa jurnalistik ada kemerdekaan pengungkapan seperti halnya bahasa sastra .Pembaca kini juga disuguhi bahasa yang enak dan penyampaian berita tepat sasaran , melainkan juga agar menimbulkan efek bunyi yanng enak ( eufoni )
Hasan junus ( kompas , 8 Oktober 1999 ) mengatakan , suatu tulisan akan di pandang benar – benar sebagai karya sastra ketika di pandang dari sudut sastra . tetapi ketika di pandang dari sudut jurnalistik , tulisan itu benar – benar menjadi karya jurnalistik .
1.4 Bahasa Jurnalistik dan Masyrakat
Bahasa jurnalistik adalah cerminan bahasa masyarakat karena kendati menggunakaan bahasa yang cenderung resmi seperti kompas tetap saja itu merupakan bahasa sehari – hari yang tidak sama persis dengan bahasa resmi . bahasa yang digunakan media massa adalah bahasa yang hidup atau dipakai di masyarakat .
Menurut pakar komunikasi A. Muis ( Kompas 6 Oktober 1999 ) merupakan euforia politik karena yang selama ini cenderung sekarang bobol . semua yang dulu d halus – haluskan ( eufemisme ) sekarang di buka blak – blakan.akibatnya kata – kata seperti sikat, bakar , bunuh , darah , bantai , rusuh , rusak , provokator , perkosa, penjara, pecat, jarah merupakan makanan sehari – hari pembaca media massa kita .
Perubahan ini ,bagi Benny Hoedoro Hoed ( Kompas 29 Juli 1999 ) adalah suatu yang wajar sebab dinamika kehidupan Bahasa Indonesia memang tidak dapat di lepaskan dari dinamika sosial politik . Bahasa indonesia tidak dapat lepas dari perubahan Masyarakatnya.
Jadi antara media massa dan masyarakat terjadi saling mempengaruhi . taruhlah masyarakat mungkin terdistorsi oleh kesalahan penggunaan bahasa media massa , tetapi media massa membantu perkembangan bahasa masyarakat .
1.4.1 Beberapa Kesalahan yang Diikuti Masyarakat
Kesalahan yang paling mencolok dari media massa dan yang kemidian diikuti masyarakat adalah pemakaian kata . yang kurang di perhatikan masyakat yaitu i bahasa dari bentuk kembar :resiko –risiko ,sekedar-sekadar , ciderai-cedera ,flim –filem,teve –tivi –TV.sebab media massa mengejanya pun begitu.ada yang memakai resiko ,ada yang risiko .selain itu madia massa kita dengan tanpa dosa menulis kata kita sementara yang harusnya adalah kami.belum lagi seenaknya memenggal kata berpasangan yang idiomatis . alhasil , masyarakat kita pun dengan fasih menulis lebih baik dibandingkan kakaknya , sesuai pemberitahaun ter dahulu , terdiri lima perkara . yang semestinya kata yang bergaris bawah itu di tulis dibandingkan dengan , sesuai dengan , terdiri dari / atas .
Kesalahan pada struktur kalimat.Masyarakat mencontoh penggunaan kalimat dari media massa yang agak kurang bertanggung jawab.dengan begitu banyak sekali orang yang membuat kalimat tanpa subjek, memulai kalimat dengan kata depan, terbawanya struktur bahasa lisan dalam bahasa tulis.Suroso ( 2001 )dengan agak sengit menyebutkan penyimpangan media massa yang lain adalah penghilangan imbuhan dalam judul berita.yang dihilangkan imbuhannya adalah kata kerja aktif.misalnya , Amerika Bom Irak yang mestinya Amerika mengebom Irak, Tentara Israel Tembak anak Palestian yang semestinya Tentara Israel Menembak Anak Palestina . Namun sesungguhnya penghilangan imbuhan dalam judul merupakan satu- satu penyimpangan yang boleh di lakukan . Ini merupakan sebuah kesepakatan tidak tertulis antara insan pers.Rosihan Anwar ( 1984 : 87 ) Mengatakan , “ Saya pribadi tidak keberatan ...Akan tetapi , pemakaiannya jangan sampai dipukul rata hingga merembet ke tubuh berita . “ Sesungguhnya tradisi penghilangan imbuhan dimulai oleh Pers – Melayu Tionghos . Persoalan yang satu ini menyangkut teknologi .
Sebuah berita yang dikemas dengan bahasa yang baiklah yang mudah dimengerti pembaca.Anhar Gonggong ( Kompas, 6 Oktober 1999 ), pakar sejarah yang juga pengamat komunikasi , mengatakan ,“ Media pada dasarnya juga alat mendidik “. Dengan bahasa yang baik dan tepat , apa yang dimaksud akan dengan mudah dapat dengan cepat dipahami.
Yang kerap terjadi di media massa kita adalah penyalinan , tanpa mengubah sedikitpun , bahasa lisan menjadi bahasa tulis.ini merupakan kecerobohan besar kecuali untuk kutipan langsung.

1.4.2 Sumbangan Terhadap Perkembangan Bahasa Indonesia
Media Massa bukan sekedar dunia informasi , melainkan juga dunia bahasa . Karena itu ketika seseorang berniat menerjuni profesi jurnalistik maka sesungguhnya ia berniat menjadi seorang pejuang bahasa .
Karena setiap hari seorang Wartawan bergelut dengan kata dan kalimat. Karena itu kerap muncul “ kata – kata baru “ dari dunia jurnalistik . Ingat kata Anda , heboh , gengsi , santai.Itu adalah kreasi kaum jurnalis .kata heboh pertama kali di perkenalkan dalam kosakata Bahasa Indonesia dalam harian Abadi tahun 1953 oleh mohamad sjaaf . kata Anda diperkenalkan oleh Sabirin, seorang perwira TNI AU dan pertama kali dimuat di harian Pedoman tanggal 28 februari 1957.kata gengsi merupakan padanan dari kata prestige . kata ini diperkenalkan Rosihan Anwar pada tahun 1949.
Soedarjo Tjokrosisworo pun rajin beranalogi dengan kata – kata yang ada sehingga kita sekarang dapat memakai kata saudara – saudari , pemuda – pemudi , tanpa beban . Soemanang dan Soedarjo Tjokrosisworo dua wartawan muda inilah yang menggagas kongres bahasa pertama ( 1938 ) di solo, Jawa tengah .



BAB II
EJAAN DAN TATA TULIS MEDIA MASSA


2.1 Apa Itu Ejaan ?
Ejaan , menurut Harimurti Kridalaksana ( 1993 : 48 ) , adalah penggambaran bunyi bahasa dengan kaidah tulis menulis yang di standardisasi . menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( 1995 : 250 ), ejaan adalah kaidah – kaidah cara bunyi – bunyi ( kata , kalimat , dan sebagainya ) dalam bentuk tulisan ( huruf – huruf ) serta penggunaan tanda baca .
Ejaan dapat dikatakan sebagai alat bantu dalam komunikasi tertulis . jika dalam berkomunikasi lisa kita banyak dibantu oleh intonasi dan mimik , dalam komunikasi tertulis semua itu digantikan oleh tanda baca , dan bunyi – bunyi bahasa di gantikan oleh huruf .
Pda hakikatnya ejaan adalah sebuah kesepakatan untuk menggunakan lambang bunyi tertentu dan tanda – tanda tertentu agar dapat saling memahami . ejaan mengupayakan agar komunikasi tertulis sama baiknya dengan komunikasi lisan melalui tanda – tanda dan simbol – simbol yang sudah disepakati .
2.2 Sejarah
Ejaan yang pertama kali berlaku di Indonesia pada tahun 1901 adalah ejaan Van Ophuysen . ejaan bahasa melayu ini berdasarkan rancangan CH . A Van Ophuysen dengan bantuan Mohamad Taib Soetan Ibrahim . Upaya penempurnaan terhadap ejaan ini terus dilakukan , diantaranya pada tahun 1938 , ketika Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo , disarankan agar ejaan indonesia lebih diinternasionalkan .
Huruf – huruf peninggalan ejaan Van Opyusen yang dapat kita kenali diantaranya ch , dj , nj , sj , tj , oe , dan dikenalnya bunyi hamsah ( ‘ ) . Beberapa peraturannya seperti penghilangan huruf antara w antara lain dalam kata koe , doeit , goeraoean , penggunaa kata 2 untuk kata ulang yang hanya diulang sebagian . jadi laki – laki , koeda – koeda boleh ditulis laki2,koeda2 tetapi berlari – lari , memata – matai , tidak boleh ditulis berlari2, memata2i.
Kemudian yang berlaku adalah ejaan Republik . Ejaan ini ditetapkan berdasarkan surat keputusan No. 264/Bhg.A tanggal 19 Maret 1947 ketika Soewandi menjadi Menteri Pengajaran , pendidikan dan Kebudayaan . Ejaan yang kerap di sebut ejaan Soewandi ini adalah upaya penyederhanaan dan penyelarasan atas ejaan yang sudah ada .
Beberapa perubahan yang dilakukannya , yaitu huruf e pepat ( e’ ) cukup ditulis e,’ bunyi hamzah ( ‘ ) dihilangkan dan diganti dengan huruf K untuk sebagian kata. Jadi tidak ada lagi kata ra’yat atau ta’pa , tetapi rakyat atau tapa ; ulangan boleh ditulis dengan angka 2 tetapi harus dilihat sebagian yang diulangnya , misalnya : mudah2an , me- mata2ai.
Ejaan Melindo ( Melayu – Indonesia ) merupakan ejaan berikutnya . Ejaan ini diputuskan oleh sidang putusan indonesia dan Malaysia yang diketuai Slametmuljana ( Indonesia ) dan Sjet Nasir Bin Ismail ( Malaysia ) pada 1959.
Oleh Pemerintah Indonesia , Rancangan Ejaan Melindo kemudia diresmikan dengan nama Ejaan Yang Disempurnakan ( EYD ) , setelah sebelumnya diseminarkan di Puncak Jawa Barat , dan berdasarkan keputusan Mwnteri Pendidikan dan kebudayaan tanggal 20 Mei 1972 No . 03/A/72 dan Keputusan Presiden No . 57 tahun 1972. Ejaan ini lebih disempurnakan lagi pada 198 berdasarkan keputusan menteri Pendidikan danKebudayaan No . 0543a/u/1987 tanggal 9 September .
2.3 Ejaan Sehari – hari
Berbicara soal ejaan berarti berbicara soal bahasa tulis . Media massa cetaklah yang memegang porsi terbesar . betapa tidak , untuk menyampaikan informasi mereka selalu bergelut dengan bahasa tulis berikut aturan – aturannya .
Namun lantaran kerap harus menuliskan bahasa lisan , media massa pernah dituduh sebagai perusak bahasa terbesar , kendati bukan begitu keadaan yang sebenarnya . ini terjadi lantaran terlalu normatifnya ahli bahasa atau masyarakat dalam menilai bahasa media massa . menurut Anton moeliono dalam harian Berita Buana ( 17 April 1991 ) , santai tidak berarti menyimpang dari aturan .
2.4 Ejaan Media Massa
Penggunaan bahasa sehari – hari dalam media massa memang mempunyai seni tersendiri. Media massa berupaya menerjemahkan keseharian itu lewat pilihan kata dan tanda baca . Akibatnya ejaan yang agaknya disiapkan untuk situasi formal menjadi kelabakan . orangpun lantas melihat ada sedikit perbedaan antara ejaan yang digunakan media massa dengan yang tertulis di buku .
Beberapa perubahan penambahanatau pengurangan , pada EYD terjadi karena media massa terkadang memanfaatkan suatu bagian ejaan sebagai style atau gaya . Misalnya saja pemanfaatan huruf tebal untuk penulisan caption atau pertanyaan , huruf tebal untuk nama penulis.
Berikut ini pemakaian ejaan sesuai dengan EYD dan tambahan yang dilakukan media massa , yang ditandai dengan raster .
2.4.1 Abjad
Abjad ada yang digunakan untuk menulis dalam media massa mengikuti abjad internasional sebagaimana yang tercantum dalam EYD ,
Selain itu dalam bahasa Indonesia terdapat empat gabungan huruf yang melambangkan konsonan , yaitu kh , ng , ny , dan sy . masing – masing melambangkan satu bunyi konsonan . kemudian juga ada vokal rangkap yang diftong , yaitu ai , au , oi . diftong ini melambangkan satu bunyi vikal . ada perkecualian untuk penulis nama , baik nama perusahaan , instansi , orang , maupun lembaga . penulisan yang menyangkut nama diri ini ditulis mengikuti ejaan aslinya ., meskipun dianggap salah menurut EYD. Jadi kendati huruf j dilafalkan ( Y ) , huruf dj dilafalkan ( j ) dan sebagainya , harus diikuti apa adanya .
Misalnya :
Universitas Padjadjaran bukan Universitas pajajaran
Pradjogo pangestu bukan Prayogo Pangestu
Soeharto bukan Suharto
2.4.2 Pemenggalan Kata
Aturan pemenggalan dalam bahasa Indonesia terdiri dari beberapa butir , yaitu :
1 . Apabila ada dua vokal berurutan atau dua konsonan berurutan , pemenggalan dilakukan diantaranya . misalnya : ca-plok , ma-in.
2 . jika ditengah kata ada huruf konsonan diantara dua vokal , pemenggalan dilakukan sebelum huruf konsonan , misalnya sa – tu , tu – gas .
3. jika ditengah kata ada tiga buah huruf konsonan atau lebih , pemenggalan dilakukan diantara konsonan pertama dan konsonan kedua . misalnya : in – fra , sas – tra .
4. kata berimbuhan dipenggal dengan mempertahankan keutuhan kata dasarnya . misalnya : meng – ajar , bel – ajar .
5. tidak memenggal dengan meninggalkan satu huruf . misalnya : tentusaja makanan itu akan lebih enak jika digula – i . sayangnya , makanan lezat ini tak disuaki semu – a orang .
2.4.3 Huruf kapital atau Huruf Besar
Huruf besar atau kapital menurut EYD , digunakan untuk :
1 .Huruf pertama kata pada awal kalimat dan petikan langsung .
2 . Huruf pertama nama gelar kehormatan , keturunan , jabatan , pangkat , dan keagamaan Yang diikuti nama orang atau instansi, lembaga, organisasi atau nama tempat.
3. Huruf pertama unsur nama bangsa, suku bangsa, bahasa dan geografi.
4. Huruf pertama nama tahun, buku , hari , hari raya , dan peristiwa sejarah .
5.huruf pertama semua unsur nama negara , lembaga pemerintah dan ketatanegaraan , nama dokumentasi resmi , nama buku , majalah , surat kabar , dan judul karangan kecuali kata seperti di , ke dari , dan untuk yang tidak terletak di posisi awal .
6. huruf pertama setiap bentuk ulang sempurna – pengulangan sama persis antara kata yang diulang – dalam judul , nama buku atau dokumen . misalnya :
Gara – gara Pak Jaksa Takut
Hati – hati penalti , Bung !
Mestinya
Gara – Gara Pak Jaksa Takut
Hati – Hati Penalti , Bung
Kecuali :
Kilau – kemilau Intan di Kalimantan
Berlarut – larut di Pantai Utara
7. huruf pertama unsur singkatan nama gelar , pangkat dan sapaan . namun huruf kapital tidak berlaku untuk kata tugas yang terdapat dalam unsur nama diri. Misalnya Vasco da Gama bukan Vasco Da Gama
8 . huruf pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan seperti bapak , ibu , saudara , kakak , adik , dan paman yang dipakai dalam hubungan penyapaan .
9 . huruf pertama kata ganti Anda
Dalam media massa pemakaian huruf kapital mendapat tambahan yaitu untuk penulisan dengan memakai huruf kapital secara menyeluruh dalam
1. Penulisan caption atau teks foto
2. Kata pertama paragraf pembuka atau teras berita
3. Seluruh huruf baris pertama dari paragraf pembuka atau teras berita .

2.4.4 Huruf Miring

Dalam EYD hanya disebut tiga yaitu :
1. Untuk menuliskan nama buku , majalah , dan surat kabar yang dikutip dalam tulisan
2. Untuk menegaskan atau mengkhususkan huruf , bagian kata , kata , atau kelompok kata
3. Untuk menuliskan kata nama ilmiah atau ungkapan asing
Oleh media massa kemudian diperkaya lagi dengan :
1. untuk menuliskan semua nama media massa cetak maupun elektronik
2. untuk nama kapal dan pesawat
3. untuk tema dan judul seminar atau pameran
4. untuk menuliskan nama kantor berita
5. untuk menuliskan pertanyaan dalam tulisan yang berbentuk tanya jawab
6. untuk menuliskan nama rubrik dan nama program acara di teve
2.4.5 Huruf Tebal
Huruf tebal adalah perangkat yang tidak diatur dalam EYD , namun pemakaiannya dalam media massa cukup banyak diantaranya :
1. untuk penulisan judul
2. untuk pertanyaan dalam suatu tulisan yang berbentuk yanya jawab
3. untuk penulisan nama tokoh publik dalam rubrik seperti tokoh dan Peristiwa di hariah Kompas , tokoh di tabloid Kontan , Apa dan Siapa di majalah Gatra , Manusia – manusia diharian Republika
4. nama penulis atau pelapor dalam tubuh tulisan
5. untuk penulisan caption atau teks foto
6. untuk lead alias teras berita dan penulisan subjudul .
2.4.6.1 Tanda Baca
2.4.6.1 Tanda Titik ( . )
1.Digunakan pada
a. akhir kalimat
b. memisahkan angka jam , menit dan detik , yang menunjukan waktu
c. memisahkan bilangan ribuan dan kelipatannya
d. akhir singkatan gelar , jabatan pangkat , dan sapaan
2. Tidak diguanakan untuk
a. memisakhan bilangan ribuan atau kelipatannya yang tidak menunjukkan jumlah
b. akhir judul karangan kepala ilustrasi , tabel dan sebagainya
c. dibelakang ( 1 ) nama pengarang dan tanggal surat atau ( 2 ) nama dan alamat penerima surat
2.4.6.2 Tanda Koma ( , )
Digunakan untuk :
1. memisahkan induk kalimat dari anak kalomat
2. dalam kalimat majemuk setara yang menggunakan konjungsi tetapi , melainkan .
3. dibelakang kata atau ungkapan penghubungan antar kalimat yang terdapat pada posisi awal
4. di belakang kata – kata seruan
5. memisahkan petikan langsung dari bagian lain
6. menceraika bagian nama yang di balik susunannya
7. di antara tempat penerbitan , nama penerbit dan tahun terbitan
8. dimuka angka persepuluhan
9. untuk mengapit keterangan tambahan , aposisi , sisipan , dan sebagainya
10. untuk menghindari salah baca
2.4.6.3 Tanda Titik Koma ( ; )
Tanda baca ini digunakan untuk :
1. memisahkan bagian – bagian kalimat sejenis dan setara
2. sebagai pengganti kata penghubung untuk memisahkan kalimat setara dalam kalimat majemuk
2.4.6.4 Tanda Titik Dua ( : )
Digunakan :
1. pada akhir suatu pernyataan lengkap jika diikuti rangkaian atau pemerian
2. sesudah kata atau ungkapan yang memerlukan pemerian
3. dalam teks drama sesudah kata yang menunjukkan pelaku dalam [percakapan
4. ( i ) diantara jilid atau nomor dalam halaman , ( ii ) , diantara bab dan ayat dala kitab suci , ( iii )diantara judul dan anak judul suatu karangan ,( iv ) nama kota dan penerbit buku acuan dalam karangan
2.4.6.5 Tanda hubung ( - )
Digunakan untuk :
1. Menyambung suku – suku kata dasar yang terpisah oleh pergantian garis
2. Menyambung awalan dengan bagian kata dibelakangnya atau akhiran dengan bagian kata didepannya pada pergantian baris
3. Menyambung unsur – unsur kata ulang
4. Menyambung hurf kata yang dieja satu – satu dan bagian tanggal
5. Menjelaska ( i ) hubungan bagian kata atau ungkapan dan ( ii ) penghilangan bagian kelompok kata
2.4.6.6 Tanda Pisah ( _ )
1. Membatasi penyisipan kata atau kalimat yang memberi penjelasan diluar bangun kalimat
2. Menegaskan adanya keterangan aposisi atau keterangan yang lain sehingga kalimat menjadi jelas
3. Dipakai diantara dua bilangan atau tanggal dengan arti sampai ke atau sampai dengan
2.4.6.7 tanda elipsis ( ... )
digunakan untuk :
1. dalam kalimat yang terputus – putus
2. untuk menunjukkan bahwa bdalam suatu kalimat atau naskah ada bagian yang dihilangkan
2.4.6.8 Tanda Tanya ( ? )
digunakan untuk :
1. Pada akhir kalimat tanya
2. Untuk menyatakan bagian kalimat yang disangsika atau kurang dapat dibuktikan kebenarannya dan ditulis dalam kurung ( ? )
2.4.6.9 Tanda Seru ( ! )
Dipakai sesudah ungkapan atau pernyataan yang berupa seruan atau perintah yang menggambarkan kesungguhan , ketidakpercayaan ataupun rasa emosi yang kuat .
2.4.6.10 Tanda Kurung ( ( ... ) )
Digunakan untuk :
1. Mengapit tambahan keterangan atau penjelasan
2. Mengapit keterangan atau penjelasan yang bukan bagian integral pokok pembicaraan
3. Mengapit keterangan huruf atau kata yang kehadirannya didalam teks dapat dihilangkan
4. Mengapit angka atau huruf yang memperinci satu urutan keterangan
2.4.6.10 Tanda Kurung Siku ( [...] )
Digunakan untuk
1. Mengapit huruf , kata atau kelompok kata sebagai kereksi atau tambahan pada kalimat atau bagian kalimat yang ditulis orang lain .tanda ini menyatakan bahwa kesalahan atau kekurangan itu memang terdapat dalam naskah asli
2. Mengapit keterangan dalam kalimat penjelas yang sudah bertanda kurung
2.4.6.12 Tanda Petik ( “...” )
Digunakan untuk ;
1. Mengapit petikan yang tersusun dalam petikan lain
2. Mengapit makna , terjemahan , atau penjelasan kata atau ungkapan asing
2.4.6.13 Tanda Garis Miring ( / )
Digunakan untuk
1. Dalam nomor surat dan nomor pada alamat dan penandaan massa satu tahun yang terbagi dalam dua tahun takwim
2. Sebagai pengganti kata atau , tiap , per
2.4.6.14 Tanda Penyingkat atau apostrof ( ‘ )
Digunakan untuk menunjukkan penghilangan bagian kata atau bagian angka tahun
2.5 Beberapa Tambahan Tata Tulis Media Massa
Inilah beberapa tambahan , setelah pemakaian huruf miring , huruf tebal , tanda petik , dan sebagainya
2.5.1 Penulisan Baris Nama atau By Line
Nama penulis yang dicantumkan diawal tulisan ditulis tanpa titik dua ( : ) karena bukan merupakan rincian
2.5.2 Penulisan Angka
1. umumnya angka satu sampai sembilan ditulis dengan huruf kecuali diikuti satuan bilangan , satuan ukur atau mata uang
2. dalamperincian , angka satu sampai sembilan ditulis dengan angka
2.5.3 Penulisan Gelar Akademis
Gelar akademis yang lazim ditulis mengikuti nama orang cenderung tidak dicantumkan tetapi ditulis secara lengkap
2.5.4 Penulisan Judul
Judul berfungsi sebagai kepala tulisan.oleh karena itu judul harus padat ringkas dan komunikatif . judul merupakan rangkuman rangkuman dari teras atau lead tulisan
Beberapa teknik penulisan judul yang disarankan
1. Pilihlah kata – kata yang berkembang di masyarakat
2. Kata – kata berbentuk pasif tidak boleh dihilangkan awalannya, karena akan bermakna sebaliknya
3. Jangan berupa kalimat karena judul bukanlah kalimat , melainkan klausa

2.5.4.1 Judul majalah atau tabloid
Umumnya terdiri dari tiga hingga lima kata . penulisannya dengan menggunakan pola ( 1 ) huruf besar dan kecil atau capital undercash dan ( 2 ) huruf besar seluruhnya
2.5.4.2 Judul Surat Kabar
Pola penulisan judul surat kabar : ( 1 ) huruf besar dan kecil atau capital undercash, ( 2 ) menyerupai kalimat

2.5.4.3 Jenis Judul
Inilah jenis – jenis judul yang di buat oleh wartawan kita :
2.5.4.3.1 Judul Puitis
Judul jenis ini sangat menekankan keindahan permainan kata
Misalnya : tertangkap basah sedang mendesah
2.5.4.3.2 judul bombastis
Judul ini bisanya berbau provokasi dan ajakan . misalnya :
Pecat saja menteri yang tidak becus
2.5.4.3.3 judul nyeleneh / nyentrik
Merupakan judul yang mengomentari suatu peristiwa , misalnya :
SBY mendingan bobok saja
2.5.4.3.4 Judul Analogi
Bisanya beranalogi pada ungkapan yang sudah sangat dikenal

Misalnya : habis gelap terbitlah SBY
2.5.4.3.5 judul Kutipan
Merupakan kutipan dari perkataan narasumber
2.5.4.3.6 Judul Prediksi
Merupakan prediksi terhadap peristiwa yang akan dihadapi
2.5.4.3.7 Judul Formal
Memberi penjelasan tentang apa yangterjadi
2.5.5 Penulisan Nama
2.5.5.1 Nama Generik
Nama jenis ini adalah nama asal yang melekat pada suatu benda seperti radio , sepeda , internet , jam. Kendati dalam nama jgenerik terkadang menyangkut nama kota atau daerah tertentu penulisannya harus tetap dalam huruf kecil . pasalnya , nama tersebut hanyalah nama sejenis makanan atau benda. Jadi pisang ambon tidak perlu ditulis pisang Ambon.
2.5.5.2 Nama lembaga
Penulisannya hendaknya mengikuti ejaan nama lembaga tersebut. Kendati nama lembaga tersebut menggunakan ejaan lama, biarkan seperti itu sebab ejaan lama menunjkkan kekhasan bahkan menunjukkan bahwa lembaga tersebut sudah cukup lama berdiri dan memiliki reputasi yang baik dalam bidangnya .
2.5.5.3 Nama Orang
Ada beberapa panduan untuk menuliskan nama orang :
1. Tuliskan nama sesuai dengan ejaan yang di berikan oleh yang bersangkutan
2. Penyebutan panggilan dalam tubuh tulisan sebagai berikut :
a. Untuk nama orang indonesia cukup disebut nama depannya hal ini sesuai dengan sistem nama indonesia .
b. Untuk nama orang asing cukup disebut nama belakangnya
3. Unsur kata depan dalam nama harus ditulis dengan huruf kecil

2.5.5.4 Nama Geografi
Penulisan nama geografi dalam pers memang ada beberapa persoalan. Diantaranya bagaimana menuliskan nama tempat atau kota yang benar. Misalnya Tanah Abang atau Tanahabang
2.5.5.4.1 Nama Geografi Indonesia
2.5.5.4.2 Nama Negara
3. Menyambung awalan dengan bagian kata dibelakangnya atau akhiran dengan bagian kata didepannya pada pergantian baris
4. Menyambung unsur kata – kata ulang
5. Menyambung huruf kata yang dieja satu – satu dan bagian tanggal
6. Menjelaskan ( i ) hubungan bagian kata atau ungkapan , dan ( ii ) penghilangan bagian kelompok kata

teori-teori pers

TEORI PERS OTORITER

Perkembangan otorisme pada pertengahan abad ke-15 juga menyebabkan
timbul satu konsep otoriter di kehidupan pers di dunia, berawal di Inggris, Perancis
dan Spanyol dan kemudian menyebar ke Rusia, Jerman, Jepang, dan negaranegara
lain di Asia dan Amerika Latin pada abad ke-16. Dengan prinsip dasar otorisme yangcukup sederhana bahwa pers hadir untuk mendukung negara dan pemerintah. Mesincetak yang ketika itu baru diciptakan tidak dapat digunakan untuk mengecam danmenentang negara atau penguasa. Pers bertungsi secara vertikal dari atas ke bawahdan penguasa berhak menentukan apa yang akan diterbitkan atau disebarluaskan dengan monopoli kebenaran di pihak penguasa. Konsep ini didukung oleh teori Hegel, Plato dan Karl Marx yang pada inti ajarannya (meskipun cenderung pada konsep sosialisme) mengagungkan negara sedemikian rupa dan berpendapat bahwa negara memiliki hak dan kewajiban untuk membela dan melindungi dirinya sendiri dengan segala cara yang dipandang perlu. Kekuatan pers yang diakui sebagai kekuatan keempat (fourth estate) menyebabkan negara atau penguasa mengalami phobia terhadap pers yang selalu menjadi pihak yang pertama tahu dan biang untuk menyebarkan kelemahan dan cela atau hal-hal yang merugikan negara atau penguasa. Bagi penguasa otoriter keanekaragaman dapat menimbulkan konflik dan ketidaksepakatan yang akibatnya sangat mengganggu dan bahkan sering subversif.Konsensus dan keseragaman merupakan tujuan yang logis dan dapat dipahami dalam komunikasi massa. Seperti pendapat yang dikemukakan Samuel Johnson bahwa setiap masyarakat memiliki hak untuk mempertahankan ketertiban dan perdamaian di depan umum, maka masyarakat berhak untuk melarang penyebaran pendapat yang cenderung berbahaya. Pendapat ini yang sebenarnya tidak masuk akal juga bagi pemimpin atau penguasa negara berkembang yang miskin yang dihadapkan pada kenyataan bahwa keharusan untuk melakukan integrasi politik dan pembangunan ekonomi lebih diutamakan akhirnya tidak bisa membiarkan pendapatpendapat atau pandangan yang dianggapnya dapat mengganggu dan menghasut. Berkaitan dengan konsep integritas yang diharapkan negara-negara yang sedang membangun dimana struktur masyarakatnya berada dalam masa peralihan, media massa bisa dianggap sebagai salah satu biang terganggunya perkembangan masyarakat dan ketertiban. Hal inilah belakangan menjadi bahan yang menarik perhatian mahasiswa atau sarjana komunikasi massa, dimana terdapat dugaan bahwa media massa dilihat berkaitan dengan masalah urbanisasi yang berlangsung cepat, mobilitas sosial, dan kerapuhan komunitas tradisional, yang secara khusus dihubungkan dengan dislokasi sosial, dugaan meningkatnya kebobrokan moral, kriminalitas dan kekacauan. Munculnya film dari luar dan ketakutan bahwa komikkomik impor berpotensi untuk merusak dan menghambat perkembangan berpikir anak menjadikan pemerintah merasa memiliki hak untuk mengawasi media massa. Komunikasi massa seringkali dikatakan individualistis, impersonal, dan anomis,
karena itu komunikasi massa sangat menunjang punahnya kontrol sosial dan
solidaritas. Dari sinilah pemerintah atau kelas penguasa mengambil tindakan dengan melakukan kontrol pada media massa/pers. Namun pandangan ini tidak mampu lagi melihat bahwa media massa juga menciptakan integritas sosial, karena media massa mampu menyatukan individu menjadi kesatuan khalayak besar, juga kemampuannya untuk menyajikan seperangkat nilai, ide, informasi, dan persepsi
yang sama kepada setiap orang. lstilah otoriter mengacu pada tingkat pengaturan pers yang sangat besar. Pers diharapkan netral, namun ditujukan dalam hubungannya dcngan pemerintah atau kelas penguasa dengan pengaturan yang disengaja atau tidak disengaja pers digunakan sebagai alat kekuasan negara untuk menekan. Penyensoran pendahuluan dan hukuman atas penyimpangan dari pedoman (seperti pembredelan perusahaan penerbitan pers) khususnya yang berlaku bagi hal-hal yang politis. Bentuk penterapan dan pengungkapan teori otoriter sangat beragam, melalui perundangundangan, pengendalian produksi secara langsung, kode etik yang diberlakukan, pajak dan jenis sanksi ekonomi lainnya, pengendalian impor media, dan hak pemerintah untuk mengangkat star ptoduksi. Meskipun telah disadari konsep ini cenderung menekan hak-hak individu atau masyarakat khususnya untuk bebas mengungkapkan, menyebarkan, dan
mendapatkan informasi dari kebenaran fakta namun disadari juga bahwa dalam
masyarakat prademokrasi atau masyarakat yang berciri kediktatoran adanya
kecendrungan otoriter dalam hubungannya dengan media yang umumnya tidak
bersifat totaliter tidak bisa diabaikan. ltulah mengapa konsep itu tanpa disadari tetap bertahan dan berlaku dengan kenyataan bahwa pada situasi tertentu konsep
otoriterisme mengungkapkan itikad yang populer dan dalam semua masyarakat
terdapat berbagai situasi di mana kebebasan pers bisa jadi bertentangan dengan
kepentingan negara atau masyarakat misalnya dalam suasana kekacauan yang
ditimbulkan teroris dan ancaman perang. Maka banyak negara melakukan pengendalian yang besar terhadap teater, film, penyiaran dan radio yang bila
dibandingkan persentasenya lebih besar dari pada terhadap surat kabar dan buku.
Secara sah atau tidak sah teori ini membenarkan penguasaan media oleh pihak yang berkuasa dalam masyarakat.
Berkaitan dengan konsep otoriter yang tidak terlepas dari pemerintah atau
penguasa, di mana selain bahwa media memiliki konsekuensi dan nilai ekonomi dan
objek persaingan untuk memperebutkan kontrol dan akses. Maka dalam
hubungannya dengan pemerintah atau penguasa, media massa dipandang sebagai
alat kekuasaan yang efektif karena kemampuannya untuk melakukan salah satu
(atau lebih) dari beberapa hal berikut:
Menarik dan mengarahkan perhatian
Membujuk pendapat dan anggapan
Mempengaruhi pilihan dan sikap
Memberikan status dan legitimasi
Medefinisikan dan membentuk persepsi realitas.
Dalam hubungan media massa dengan masyarakat, konsep otoriter ini mengambil
dalih bahwa media massa merupakan corong penguasa, pemberi pendapat dan
instruksi serta kepuasan jiwani. Media massa bukan saja membentuk hubungan
ketergantungan masyarakat terhadap media itu sendiri tetapi juga dalam
menciptakan identitas dan kesadaran. Menurut C. W. Mills potensi media massa
diarahkan untuk pengendalian nondemokratis yang berasal 'dari atas'. Teori Marxismenekankan kenyataan bahwa media massa pada hakikatnya merupakan alat kontrol kelas penguasa kapitalis. Sebagai suatu kelas yang mengatur produksi kelaskelas tersebut juga akhirnya menguasai dan menentukan gagasan pada
masyarakatnya, maka gagasan mereka diidentikkan dengan gagasan penguasa.
Orang yang berada dalam kelas ini adalah orang berada yang juga terjun dalam dunia politik. Benturan kepentingan yang dialami media massa menurut McQuail berkaitan dengan operasional fungsi dan tujuan media massa di suatu negara yang ditentukan oleh beberapa pihak atau unsur , yang dapat dijelaskan sebagai berikut : Teori otoriter mengenai fungsi dan tujuan masyarakat menerima dalil-dalil yang menyatakan bahwa pertama-tama seseorang hanya dapat mencapai
kemampuan secara penuh jika ia menjadi anggota masyarakat. Sebagai individu
lingkup kegiatannya benar-benar terbatas, tetapi sebagai anggota masyarakat
kemampuannya untk mencapai suatu tujuan dapat ditingkatkan tanpa batas. Atas
dasar asumsi inilah, kelompol lebih penting daripada individu, karena hanya melalui
kelompok seseorang dapat mencapai tujuannya. Teori ini telah mengembangkan
suatu pemyataan bahwa negara sebagai organisasi kelompok dalam tingkat paling
tinggi telah menggantikan individu dalam hubungannya dengan derajat nilai, karena tanpa negara seseorang tak berdaya untuk mengembangkan dirinya sebagai manusia beradab. Teori hegemoni relevan dengan situasi yang timbul daTi pelaksanaan konsep otoritarian ini. Gramsci memakai istilah tersebut untuk menyebut ideologi penguasa, konsep ideologi Gramsci ini menekankan pada bentuk ekspresi, cara penerapan, dan mekanisme yang dijalankan pemerintah atau penguasa untuk mempertahankan dan mengembangkan diri melalui kepatuhan para korbannya (anggota masyarakatterutama kelas pekerja) sehingga upaya itu akan berhasil memasyarakat. Secara umum konsep otoriter ini sama dengan konsep hegemoni atau dominasi Gramsci yang artinya pemaksaan kerangka pandangan secara langsung terhadap kelas yang lebih lemah melalui penggunaan kekuatan dan keharusan ideologi yang terangterangan. Dewasa ini otoritarisme berkembang luas, terutama bila konsep komunis atau pembangunan dipahami sebagai perbedaan dari otoritarisme tradisional. Di negaranegara berkembang wartawan barat seringkali menghadapi berbagai macam kesulitan saat melakukan peliputan, seperti visa masuk ditolak, berita disensor, bahkan penculikan dan dipenjara.

KONSEP OTORITER PADA PERS INDONESIA ORDE BARU
Seperti halnya Indonesia pada masa orde baru ketika pers berpraktek konsep otoriter ini meskipun secara teori konsep yang dipakai adalah konsep pers Pancasiladengan inti ajaran memiliki kesamaan dengan konsep pers tanggung jawab sosial.Dengan maksud perkembangan atau pembangunan yang sedang berjalan tidak terganggu dengan hal-hal yang mungkin mengancam integritas maka pemerintah ketika itu merasa memiliki hak untuk mengawasi pers yang telah atau dianggap telah melanggar tanggung jawabnya pada masyarakat, keadaan ini merupakan konsep otoritarian tradisional. Pada masa itu pers Indonesia diperbolehkan untuk mencari berita, menyebarkannya, namun dengan kebijakan untuk negara.Pemerintah membiarkan pers selama pers tidak mengkritik dan menentang kebijakan pemerintah atau hal-hal yang tidak menguntungkan pemerintah. Sayangnya pers memakai kesempatan ini untuk mementingkan nilai-nilai komersil dengan mengabaikan nilai ideal pers, sehingga konsep otoritarian bukan lagi menjadi kepentingan pemerintahan. Meskipun demikian kenyataan bahwa pers memiliki cukup nyali untuk menyebarkan informasi kebenaran yang kemudian dianggap menyinggung pemerintah, sehingga sekitar tahun 90-an dan awal 90-an beberapa penerbitan pers dicabut SIUPP-nya. Kenyataan tersebut dapat dilihat bahwa terdapat benturan kepentingan yang secara umum media massa ketika itu merupakan salah satu bagian atau sub sistem sosial politik yang berlaku. Permasalahan yang terjadi pada media massa merupakan produk atau hasil dari permasalahan sistem sosial politik yang ada. Menurut McQuail, bahwa media massa, sebagai suatu bagian dari sistem kenegaraan, maka kepentingan nasional bangsa yang dirumuskan oleh kalangan pembuat kebijakan akan menentukan mekanisme operasionalis media massa dalam menjalankan fungsi dan tujuannya. Pihak pemerintah menginginkan agar media massa berfungsi sebagai sarana pemeliharaan integritas bangsa dan negara, sarana pemeliharaan kestabilan politik. Sementara itu khalayak mengharapkan media massa berfungsi sebagai sumber informasi yang dipercaya, sarana pengetahuan dan budaya. Di masa itu pers berada dalam kondisi yang tidak berdaya dari tekanantekanan kepentingan pihak penguasa dan pengusaha media. Tekanan-tekenan ini dengan alasan demi stabilitas nasional dan kepentingan pembangunan ekonomi telah membuat media massa cenderung untuk hanya berorientasi pada kepentingan pemerintah dan pemilik modal dan mengabaikan kepentingan khalayak secara luas. Fungsi kontrol media massa khususnya untuk menyampaikan berbagai kritikan serta pandangan yang berbeda mengenai relaitas pembangunan cenderung menurun atau bahkan tidak ada sama sekali. Hal ini disebabkan dua hal yaitu pertama bahwa ketidak berdayaan para pengelola media massa menghadapi tekanan politik ekstemal dalam mendefinisikan dan menggambarkan 'realitas sosial'. Tekanan eksternal ini tentu saja tidah hanya mempengaruhi 'obyektifitas antar-media'. Kedua
bahwa secara struktural politik media yang berlaku di masa orde baru diasumsikan
telah semakin meperkokoh integrasi vertikal dalam sistem komunikasi politik kita.
Tercermin dengan dimilikinya berbagai media massa oleh unsur-unsur bagian elit
politik yang diperkirakan memiliki keseragaman konsepsi mengenai relaitas sosial. Berdasarkan uraian di atas berikut ciri-ciri pers otoriter ini:
1. Media seyogyanya tidak melakukan hal-hal yang dapat merusak wewenang yang
ada.
2. Media selamanya harus tunduk pada penguasa yang ada
3. Media seyogyanya menghindari perbuatan yang menentang nilai-nilai moral danpoltik atau dominan mayoritas.
4. Penyensoran dapat dibenarkan untuk menerapkan prinsip-prinsip yang dianut
5. Kecaman yang tidak dapat diterima terhadap penguasa, penyimpangan dari
kebijaksanaan resmi, atau perbuatan yang menentang kode moral dipandang
sebagai perbuatan pidana
6. Wartawan atau ahli media lainnya tidak memiliki kebebasan di dalam organisasi
medianya.
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN SISTEM OTORITARIAN
Setiap konsep yang memiliki relativisme yang tinggi karena tergantung oleh
nilai, norma bahkan kebutuhan masyarakatnya, setiap hal di dunia ini pada
kodratnya memiliki dua sisi, baik dan buruk, benar dan salah. Maka konsep
otoritarian ini pun memiliki kelebihan yang menyebabkan suatu konsep itu tetap
digunakan dan menimbulkan efek yang diinginkan masyarakat juga memiliki
kekurangan.
Kelebihan teori otoriter:
Konflik dalam masyarakat cenderung berkurang karena adanya pengawasan
hal-hal yang dianggap dapat menggoncangkan masyarakat
Mudah membentuk penyeragaman/integritas dan konsensus yang diharapkan
khususnya secara umum pada negara sedang membangun yang memerlukan
kestabilan.
Kekurangan :
Adanya penekanan terhadap keinginan untuk bebas mengemukakan
pendangan/ pendapat
Mudah terjadi pembredelan penerbitan media yang cenderung
menghancurkan suasana kerja dan lapangan penghasilan yang telah mapan.
Tertutupnya kesempatan untuk berkreasi.


PERS LIBERAL


Teori pers liberal atau juga dikenal dengan teori pers bebas pertama sekali
muncul pada abad ke-17 yang merupakan reaksi atas kontrol penguasa terhadap
pers. Teori pers liberal adalah merupakan perkembangan dari teori pers sebelumnya,yaitu teori pers otoriter yang jelas-jelas sangat didominasi oleh kekuasaan dan pengaruh penguasa melalui berbagai upaya yang sangat mengekang dan menekan keberadaan pers. Selama dua ratus tabun pers Amerika dan Inggris menganut teori liberal ini, bebas dari pengaruh pemerintah dan bertindak sebagai fourth estate (kekuasaan keempat) dalam proses pemerintahan setelah kekuasaan pertama: lembaga eksekutif, kekuasaan kedua: lembaga legislatif, dan kekuasaan ketiga: lembaga yudikatif. Dalam perkembangan selanjutnya, pada abad ini muncul new authoritarianism di negara-negara komunis sedangkan di negara-negara nonkomunis timbul new libertarianism yang disebut social responsibility theory atau teori tanggung jawab sosial. Di negara-negara yang menganut sistem demokrasi yang memberikan kebebasan kepada rakyat untuk menyatakan pendapatnya (free of expression), sampai sekarang pers tetap dianggap sebagai fourth estate sebagaimana disinggung di atas. Hal ini disebabkan oleh daya persuasinya yang kuat dan pengaruhnya yang besar kepada masyarakat.Kata-kata Napoleon Bonaparte, " Aku lebih takut pada
empat surat kabar yang terbit di Paris daripada seratus serdadu dengan senapan
bersangkur terhunus", masih berlaku. Pers diperlukan, tetapi juga ditakuti.
Konsep pers yang diterapkan di Barat merupakan penyimpangan demokratis
dari kontrol otoritarian tradisional. Perjuangan konstitusional yang panjang di Inggris dan Amerika Serikat lambat-laun telah melahirkan sistem pers yang relatif bebas dari kontrol pemerintah yang sewenang-wenang. Pada kenyataannya, definisi tentang kebebasan pers merupakan hak dari pers untuk melaporkan, mengomentari, dan mengkritik pemerintah. lni disebut "hak berbicara politik". Sejarah mencatat,fitnah yang menghasut berarti kritik terhadap pemerintah, hukum, atau pejabat pemerintah. Ketiadaan dalam suatu negara, fitnah yang menghasut sebagai kejahatan dianggap sebagai ujian terhadap kebebasan menyatakan pendapat yang secara pragmatis dibenarkan sebab berbicara yang relevan secara politik merupakan semua pembicaraan yang termasuk dalam kebebasan pers. Dengan ujian yang dibutuhkan ini---hak berbicara politik--- konsep Barat jarang digunakan dalam dunia saat ini, meskipun banyak pemerintah otoritaian memberikan basa-basi. Pers yang benar-benar bebas daN independen hanya ada di sebagian kecil negara-negara Barat yang memiliki karakter sebagai berikut:
1. Suatu sistem hukum yang memberikan perlindungan yang berati bagi kebebasan
sipil perorangan (di sini bangsa yang menerapkan common law, yaitu hukum yang
menjamin kebebasan individu bagi rakyat untuk menyatakan pendapat, seperti
Amerika Serikat dan Inggris) tampaknya menerapkan sistem pers yang lebih baik
ketimbang Perancis atau Itali yang menerapkan tradisi civil law;
2. Tingkat pendapatan rata-rata yang tinggi dalam : income per kapita, pendidikan
melek-huruf;
3. Pemerintahan dengan sistem multipartai, demokrasi parlementer atau sekurangkurangnya dengan oposisi politik yang sah;
4. Modal cukup atau perusahaan swasta diperbolehkan mendukung media
komunikasi berita;
5. Tradisi yang mapan mengenai kemandirian jurnalistik.
Daftar bangsa yang memenuhi kriteria pers Barat ini termasuk America
Serikat, Inggris, Kanada, Swedia, Jerman, Belanda, Belgia, Perancis, Austria,
Australia, Selandia Baru, Swiss, Norwegia, Denmark, Irlandia, Itali, dan Israel,
disamping negara yang sangat maju dan telah terbaratkan, seperti Jepang.
Para wartawan di banyak negara lain mendukung dan mempraktekkan
konsep ini, tetapi karena pergeseran politik, pers mereka bergerak maju-mundur
antara kebebasan dan pengendalian (pengawasan). Negara-negara ini termasuk
Spanyol, Yunani, India, Kolombia, Turki, Venezuela, Srilangka, dan Portugal.
Pada umumnya , bangsa-bangsa Barat yang memenuhi kriteria tersebut
sedikit jumlahnya. Mereka sering melakukan pengumpulan berita dunia dari bangsabangsa lain dan korespondennya bahkan sering bersitegang dengan rezim
otoritarian. Karena konsep Barat berpegang kuat bahwa pemerintah--di mana pun
pemerintah itu-- tidak boleh mengganggu proses pengumpulan dan penyebaran
berita. Pers, menurut teori, harus mandiri dari kekuasaan dan harus berada di luar
pemerintah sebagai kekuatan negara yang keempat yang dilindungi oleh hukum dan adat istiadat dari kesewenang-wenangan campur tangan pemerintah. Tidak banyak wartawan di dunia bekerja dalam kondisi semacam ini. Pemikiran jurnalistik Barat merupakan hasil sampingan dari Zaman Pencerahan (abad pertengahan) dan tradisi politik liberal seperti tercermin pada tulisan John Milton, John Locke, Thomas Jefferson, dan John Stuart Mill. Utamanya, harus ada keragaman pandangan dan sumber berita di "bursa pemikiran" agar khalayak dapat memilih apa yang ingin dibaca dan dipercaya. Tak seorang pun dan kekuasaan manapun, spritual atau temporal, memiliki monopoli kebenaran. Judge Learned Hand mengatakan:
Bahwa industri surat kabar merupakan satu dari seluruh kepentingan umum yang paling vital; penycbardn berita dari banyak sumber yang berbeda-beda dengan
banyak tahap adalah mungkin. Ini menunjukan bahwa kesimpulan yang benar
agaknya mungkin diperoleh lewat banyaknya lidah daripada melalui bentuk
seleksi otoritaian. Bagi banyak orang, ini merupakan pendapat yang selalu
konyol; tapi kita telah mempertaruhkannya dengan segala milik kita. Yang mendasai proses untuk "membenarkan diri-sendiri" (self-righting) adalah keyakinan bahwa warga negara akan menentukan pilihan yang benar terhadap apa yang harus dipercayainya jika cukup suara didengar dan pemerintah berlepas tangan. Dalam konteks intemasional, ini berarti harus ada arus informasi bebas yang tidak dihalangi oleh campur tagan negara manapun. Pemerintah di manapun tidak boleh merintani pengumpulan berita yang sah. lni tidak berati bahwa media berita Barat tidak memiliki kekurangan yang serius. Kebebasan politik tidak menghalangi kontrol ekonomi dan campur tangan terhadap praktek jumalistik. Suatu sistem media yang dimiliki swasta, dalam derajat yang berbeda, akan mencerminkan kepentingan dan kepedulian pemiliknya. Supaya tetap bebas dari kontrolluar, termasuk pemerintah, media harus kuat secara finansial dan menguntungkan. Tapi keunggulan dan keuntungannya tidak memiliki arah yang sama, meskipun beberapa media berita yang terbaik sangat menguntungkan pemiliknya. Bagaimanapun, mencari uang merupakan tujuan utama jumalistik. Dan bagi mereka, kemandirian serta pelayanan publik kurang memiliki makna (atau sedikit diberi perhatian). Lagi pula. Keanekaragaman di tingkat nasional dan intemasional tampak sedang mengalami kemerosotan. Meningkatnya monopoli media dan pemusatan pemilikan telah mengurangi jumlah suara bebas yang terdengar di perdebatan terbuka. Semakin banyak surat kabar, majalah, dan stasiun siaran yang menjadi bagian dari konglomerasi media yang sangat besar. Di beberapa negara demokrasi seperti Norwegia dan Swedia, pemerintah memelihara keanekaragaman pandangan politik dengan memberikan bantuan kepada surat kabar dari berbagai partai politik, suatu praktek yang bukan tanpa bahaya potensial terhadap kebebasan pers. Beberapa perusahaan dalam konsep Barat jatuh di bawah rubrik tanggung jawab sosial (social responsibility). lni berarti bahwa media mempunyai kewajiban yang jelas dengan memberikan pelayanan publik termasuk di dalamnya ukuranukuran profesional bagi wartawan serta pelaporan yang jujur dan objektif. Media juga berkewajiban menjamin bahwa semua suara dan pendapat masyarakat di dengar. Lagi pula, pemerintah diberi peran terbatas dalam mencampuri urusan operasional media dan dalam mengatur peraturan jika kepentingan umum tidak akan dilayani secukupnya. Peraturan pemerintah dalam siaran di negara-negara Barat menunjukkan contoh yang baik mengenai kedudukan tanggung jawab sosial. Pada umumnya, negara-negara di dunia, khususnya di negara-negara barat yang memiliki sistem pemerintahan liberal, teori pers seperti ini sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan bernegara masyarakatnya. Teori pers liberal ini pada masa sekarang sudah dipandang secara luas sebagai prinsip pengabsahan yang utama bagi media cetak dalam demokrasi liberal. Pada dasarnya teori pers liberal adalah merupakan teori yang sederhana dan merupakan teori yang berisi atau menimbulkan ketidakonsistenan mendasar. Dalam bentuk yang paling dasar, teori ini hanya menyatakan bahwa seseorang seyogyanya diberi dan memiliki kebebasan untuk mengungkapkan pendapat, pikiran, gagasan, ataupun ide-idenya. Hal ini disebabkan kerena teori pers ini menganggap kebebasan untuk menyatakan pendapat, pikiran, gagasan, ataupun ide mutlak merupakan hak asasi manusia. Setiap orang dianggap memiliki hak untuk berpendapat secara bebas dan berhak pula untuk mengungkapkannya, selain itu setiap orang juga memiliki hak untuk bergabung dan berserikat dengan yang lain. Dengan demikian, prinsip dan nilai-nilai yang mendasarinya identik dengan prinsip dan nilai-nilai yang dianut oleh negara demokrasi liberal, yaitu adanya keyakinan akan keunggulan individu, akal sehat, kebenaran dan kemajuan, dan pada akhimya adanya kedaulatan kehendak rakyat. Kesulitan dan kemungkinan ketidakkonsistenannya hanya timbul pada saat
menguraikan kebebasan pers sebagai hak fundamental, menerapkan batasan
aplikasinya, dan merinci bentuk lembaga yang paling tepat untuk mengungkapkan
pendapat dan mencari perlindungan dalam masyarakat tertentu.
Teori ini pernah dipandang sebagai ungkapan penentangan terhadap
kolonialisme (pertama sekali di koloni Amerika); sebagai wadah menyalurkan
perbedaan pendapat yang berguna; sebagai argumentasi bagi kebebasan beragama;sebagai sarana menentang kesewenangan; sebagai sarana menegakan kebenaran, dan pada intinyasebagai suatu hal yang menjadi keharusan praktis.
Teori pers bebas dipandang sebagai komponen yang penting dari amsyarakat
yang bebas dan rasional. Perkiraan yang paling mendekati kebenaran akan timbul
dari pengungkapan sudut pandang lain dan kemajuan bagi masyarakat akan
bergantung pada pilihan pemecahan yang "benar" daripada yang "salah".
Dalam teori politik tentang pencerahan (enlightement), diasumsikan bahwa
dalam setiap kasus, terdapat titik temu antara kemaslahatan masyarakat,
kesejahteraan umum, dan kemaslahatan perseorangan dalam masyarakat itu, yang
hanya dapat mereka persepsikan dan ungkapkan. Kelebihan pers liberal dalam
kaitannya dengan hal tersebut yaitu bahwa dengan pers bebas, dimungkinkan
adanya pengungkapan dan memungkinkan masyarakat memenuhi aspirasinya.
Kebenaran, kesejahteraan, dan kebebebasan harus berjalan seiring dan
pengendalian pers yang ketat dan berlebihan pada akhirnya hanya akan
menimbulkan ketidaknalaran dan penekanan yang juga akan berdampak pada
masyarakat. Pers yang terkekang tidak akan mungkin dapat menjadi sarana
informasi dan aspirasi masyarakat yang sejati. Pers yang terbelenggu tidak akan
pernah bisa menjadi sarana pembelajaran dan pendewasaan masyarakat dalam
menghadapi realitas kehidupan yang sebenarnya.
Meskipun dalam teorinya, pers liberal merupakan bentuk pers yang paling
ideal, tetapi dalam aplikasinya kebebasan pers masih jauh dari apa yang diharapkan.
Persoalan tentang apakah hal itu merupakan tujuan pers itu sendiri, sebagai sarana untuk mencapai tujuan, atau merupakan hak mutlak belum benar-benar
terwujudkan. Ada yang menyatakan bahwa apabila kebebasan pers itu dipasun
sampai tingkat yang mengancam moral yang baik dan kewenangan negara, maka
hal itu harus dikekang. Menurut de Sola Pool (1973), "Tidak ada negara yang akan
benar-benar mentolerir kebebasan pers yang mengakibatkan perpecahan negara dan membuka pintu banjir kritik terhadap pemerintah yang dipilih secara bebas yang memimpin negara itu."Di hampir semua masyarakat yang telah mengakui kebebasan pers, pemecahannya adalah dengan membebaskan pers dari sensor pendahuluan, tetapi pers tidak bebas dari adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur setiap konsekuensi aktivitasnya yang melanggar hak orang lain dan tuntutan yang sah dari masyarakat. Perlindungan orang-orang secara individu, kelompok, minoritas (atas reputasi, harta benda, kemerdekaan pribadi, perkembangan moral), serta keamanan dan bahkan kehormatan negara seringkali lebih diutamakan daripada nilai mutlak kebebasan untuk mempublikasikannya.
Banyak kesukaran yang juga telah timbul dari bentuk lembaga dimana
kebebasan pers telah mewujud. Dalam banyak keadaan, kebebasan pers telah
menyatu dengan hak pemilikan dan telah digunakan untuk mewujudkan hak
memiliki dan menggunakan sarana publikasi tanpa kekangan atau campur tangan
pemerintah. Pembenaran utama bagi pandangan ini, yaitu bahwa disamping adanya asumsi bahwa kebebasan pada umumnya berarti kebebasan dari pemerintah, adalah melalui pengalihan analogi "pasar gagasan bebas" yang diungkapkan di atas pasar bebas yang sesungguhnya dimana komunikasi merupakan hal yang baik untuk diproduksi dan dijual.
Oleh karena itu, kebebasan mempublikasikan barns dipandang sebagai hak
milik yang mengamankan keragaman sebanyak yang ada dan diungkapkan oleh
konsumen bebas yang mengajukan permintaan mereka ke dalam pasar. Dengan
demikian, kebebasan pers disamakan dengan pemilikan media secara privat dan
bebas dari campur tangan dalam pasar. Tidak hanya mengandung monopoli dalam
pers dan media lain yang membuat proposisi ini sangat meragukan tetapi kadar
kepentingan finansial eksternal dalam pers bagi banyak orang tampaknya juga
merupakan sumber kendala yang sama potensinya seperti setiap tindakan
pemerintah atas kemerdekaan mengungkapkan pendapat. Tambahan pula, dalam
suasana modern, gagasan tentang pernilikan pribadi yang menjamin hak seseorang
untuk menerbitkan tampaknya mustahil. Masalah dan ketidakkonsistenan tertentu lainnya juga dapat dikemukakan. Pertama, tidak jelas sejauh mana teori itu dapat dipandang berlaku bagi siaran publik, yang sekarang bertanggung jawab bagi sebagian besar aktivitas media dalam masyarakat yang masih tetap terkait dengan idaman kemerdekaan perorangan, dan sesungguhnya, sebarapa jauh hal itu berlaku bagi lingkup aktivitas komunikasi yang penting lainnya dimana kebebesan itu mungkin sama pentingnya seperti dalam pendidikan, kebudayaan, dan kesenian. Kedua, teori ini tampaknya dirancang untuk melindungi opini dan keyakinan serta kurang bemilai "informasi". Ketiga, teori ini telah terlalu sering dirumuskan untuk kepentingan pemilik media dan tidak dapat memberikan kesempatan yang sama untuk mengungkapkan pendapat tentang hak para editor dan wartawan yang dapat dipersoalkan dalam pers, atau hak audiens, atau pewaris lain yang mungkin, atau korban dari pengungkapan bebas. Keempat, teori ini mengharamkan pengendalian wajib tetapi tidak memberikan cara yang jelas untuk membatasi berbagai tekanan yang ditujukan pada media, khususnya, namun bukan satu-satunya, yang timbul dari lingkungan pasar. Untuk jelasnya, maka gagasan tentang teori pers bebas dapat diungkapkan dalam beberapa prinsip berikut:
Publikasi seyogyanya bebas dari setiap penyensoran pendahuluan oleh pihak
ketiga.
Tindakan penerbitan dan pendistribusian seyogyanya terbuka bagi setiap
orang atau kelompok tanpa memerlukan izin atau lisensi.
Kecaman terhadap pemerintah, pejabat, atau partai politik (yang berbeda
dari kecaman terhadap orang-orang secara pribadi atau pengkhianatan dan
gangguan keamanan) seyogyanya tidak dapat dipidana, bahkan setelah
terjadinya peristiwa itu.
Seyogyanya tidak ada kewajiban mempublikasikan semua halo
Publikasi "kesalahan" dilindungi sama halnya dengan publikasi kebenaran,
dalam hal-hal yang berkaitan dengan opini dan keyakinan.
Seyogyanya tidak ada batasan hukum yang diberlakukan terhadap upaya
pengumpulan informasi untuk kepentingan publikasi.
Seyogyanya tidak ada batasan yang diberlakukan dalam impor dan ekspor
atau penerimaan dan pengiriman pesan di dalam negeri maupun antar
negara.
Wartawan seyogyanya mampu menuntut otonomi profesional yang sangat
tinggi di dalam organisasi mereka.Walaupun pada dasamya kebebasan pers merupakan idaman, bukan hanya bagi kalangan pers itu sendiri, tetapi juga bagi masyarakat karena masyarakatlah yang menjadi konsumen informasi melalu pemberitaan pers tetapi kebebasan pers dalam prakteknya tidaklah benar-benar bebas dari segala bentuk kepentingan. Pers yang bebas bukan berarti pers yang benar-benar independen dan tidak memihak. Karena bagaimanapun juga, pers itu memiliki kepentingan tertentu. Jikapun lepas dari pemerintah, pers bebas tetap bersandar pada kepentingan para pemilik modal, dalam hal ini pemilik media yang ditumpangi oleh para pelaku pers. Terkadang hal inilah yang menjadi dilema bagi kalangan pelaku pers, dimana di satu pihak ia berupaya untuk dapat memberikan dan menyajikan informasi yang benar-benar "netral" , berimbang dan sesuai dengan fakta, tetapi dipihak lainnya ia harus dapat memberikan keuntungan, baik materil maupun non materil kepada para pemilik modal yang menaunginya.
Dalam negara yang menganut sistem politik liberal dan menaganut asas-asas
demokrasi, kehidupan persnya sangat kental dengan adanya persaingan yang bebas. Maksudnya yaitu, setiap usaha penerbitan pers secara alami berusaha untuk menarik sebesar-besamya khayalak pembaca melalui pemberitaannya masing-masing.Adanya persaingan ini, membuat para pelaku pers berlomba-lomba mencari,menulis, dan menyajikan informasi-informasi yang "besar" dan boombastis untuk menarik perhatian khalayak. Hal seperti ini merupakan hal yang lumrah, karena bagaimanapun juga pers tidak hanya melulu mengatasnamakan idealisme semata, namun dibalik semuanya itu, terdapat politik bisnis, yang tidak dapat
dikesampingkan begitu saja.
Dengan adanya persaingan ini, maka pemberitaan pers menjadi beragam.
Satu hal yang positif dari keadaan seperti ini, yaitu bahwa masyarakat dapat
menjadi lebih dewasa, dan dapat mengarahkan masyarakat untuk menjadi rasional
dan dapat berpikir logis. Hal ini disebabkan karena dengan adanya informasi yang
variatif, maka masyarakat akan dapat memilah-milih sendiri informasi yang
dipercayainya benar sesuai dengan rasionalitasnya masing-masing dan hasil
pengamatannya di lapangan Kemajuan teknologi yang pesat juga membawa pengaruh terhadap posisi dan keberadaan pers. Teknologi yang canggih membuat masyarakat dari berbagai belahan dunia dapat dengan relatif mudah mengakses dan mendapatkan informasiinformasi dari negara lain. Televisi, radio, koran, majalah, dan juga bahkan internet mampu memenuhi kebutuhan masyarakat luas akan informasi dalam waktu yang relatif singkat. Fenomena seperti ini menjadikan pers semakin bersaing dalam menyajikan pemberi
Teori Liberal
Teori liberal berkembang di Inggris dan Amerika Serikat setelah tahun 1688. Teori pers liberal merupakan penerapan filsafat umum rasionalisme dan hak-hak ilmiah dalam bidang pers. Tugas pers yang terpenting di sini memberikan informasi, menghibur, menjual, membantu menemukan yang terbaik, dan melaksanakan kontrol sosial serta pemerintahan. Pemanfaatan pers secara terbuka, maksudnya siapapun berhak untuk menggunakannya. Pemberitaan yang dilarang berupa pemberitaan yang bersifat fitnah, cabul, tidak senonoh, dan penghianatan saat perang. Perusahaan pers biasanya dimiliki oleh kalangan privat (swasta). Mekanisme aktivitas pers difokuskan pada tindakan memeriksa/mengontrol pemerintah dan mempertemukan kepentingan-kepentingan masyarakat. Libertarian theory akan berkembang menjadi responsibility theory. Dalam teori liberal, pers bukan alat pemerintah melainkan sebagai alat untuk menyajikan fakta,alasan, dan pendapat rakyat untuk mengawasi pemerintah (social control terhadap pemerintah) sebagai berikut:
1. Memberi penerangan kepada masyarakat
2. Melayani kebutuhan pendidikan politik masyarakat
3. Melayani kebutuhan bisnis
4. Mencari keuntungan .
5. Melindungi hak warga masyarakat
6. Memberi hiburan kepada masyarakat.


PERS KOMUNIS

Tamatnya pemerintahan komunis di USSR yang diikuti dengan pecahnya Uni
Sovyet telah mendatangkan kehancuran dan penyusunan kembali hampir semua
elemen dasar yang ada di negara tersbut. Sebagian dari proses itu disumbangkan
oleh mass media, yang membawa kejatuhan dari sistem pers dan penyiaran yang
lama. Glasnot, yang aslinya merupakan kebijakan resmi Partai Komunis, menurut
konsepnya, seharusnya diarahkan untuk membuka diskusi kritis mengenai masa lalu negeri tersebut dan mengenai cara-cara untuk memperbaiki sosialisme di USSR, telah mematahkan belenggu sensor dan berkembang melewati semua batasanbatasan yang ada dan mengarah kepada kemerdekaan berbicara dan kemerdekaan pers. Perestroika, bertujuan untuk menyusun kembali ekonomi dan masyarakat Soviet yang berlangsung antara 1985 dan 1991, telah menciptakan lingkunganlingkungan material yang baru menciptakan fondasi untuk perkembangan pers dan penyiaran. Tahun 1992 sampai 1994 merupakan masa yang paling tak stabil bagi Rusia, yang akan membuat setiap penelitian terancam menjadi basi saat dipublikasikan. Sampai akhir-akhir ini, media masa Soviet tidak mempunyai dasar hukum. Aktivitas mereka di atur oleh keputusan yang dibuat oleh badan-badan dan fungsinalis Partai Komunis. Surat keputusan tersebut mengenalkan "cara-cara sementara dan luar biasa untuk menghentikan aliran kotoran dan fitnah" dan tak pernah dicabut selama tujuh dasa warga pemerintahan Soviet. "Kebebasan penuh dalam batasan tanggung jawab di depan pengadilan" yang dijanjikan dalam teksnya, yang akan direalisir oleh "perundangan yang luas dan progresif" muncul melalui Undang-undang Pers dan Media lain di USSR (1 Agustus 1990) dan Undang-undang Federasi Rusia mengenai Media Masa (8 Februari, 1992). Kebebasan informasi masa dalam hukum Rusia bersifat tak terbatas (kecuali dengan legilasi) untuk mencari, mendapatkan dan membuat serta menyebarkan informasi; kebebasan untuk mendirikan outlet media masa dan memilikinya, menggunakannya serta mengaturnya; dan kebebasan untuk mempersiapkan, memperoleh dan mengoperasikan peralatan dan perlengkapan teknis, bahan-bahan mentah serta materi yang diperuntukkan bagi produksi dan distribusi produk-produk media masa. Hukum Rusia menekankan ketidak layakan penyensoran, yang aslinya dikemukakan dalam Pasal 1 Undang-undang USSR mengenai Pers dan Media Masa yang Lain (Undang-undang Pers USSR). Untuk memonitor pelaksanaan statuta pers, diciptakan suatu badan khusus, Inspektorat Negara untuk Melindungi Kebebasan Pers dan Informasi Masa pada bulan September 1991 dengan mandat untuk mengusut pemerintah, pendiri, redaksi penerbitan dan stasiun radio serta TV apabila melakukan pelanggaran hukum. Badan ini dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan untuk menutup organisasi media.Undang-undang Dasar Rusia yang dipakai dalam referendum nasional tanggal 12 Desember 1993 merupakan hukum paling mutakhir dan mungkin paling penting yang menjamin kebebasan pers dan kebebasan berbicara. Pelarangan penyensoran disebutkan dalam undang-undang tersebut (Pasal 29) bahwa "setiap orang berhak untuk dengan bebas mencari, mendapatkan, memancarkan, membuat dan menyebarkan informasi dengan cara apapun yang tidak bertentangan dengan hukum".

Runtuhnya Pers Pusat
Sampai sekitar 1990, koran-koran di USSR mempunyai struktur piramida
yang stabil. Di puncaknya bertengger "pers pusat": berlokasi di Moskow, koran atau
majalah yang mempunyai distribusi nasional yang menampilkan kebijakan resmi
Partai Komunis, pemerintah, dan berbagai badan pusat, baik milik negara atau milik masyarakat. Meskipun jumlah perusahaan pers pusat ini hanya 3% dari jumlah perusahaan koran, akan tetapi sirkulasinya sebesar 73% dati keseluruhan sirkulasi media masa di Uni Sovyet.Meskipun tidak ada hubungan antara publikasi-publikasi lokal dengan publikasi-publikasi pusat, akan tetapi jalur komando antara badan-badan yang mengaturnya seakan-akan menggambarkan hubungan seperti antara tuan dan budaknya. Meskipun puncak piramida mempunyai jumlah koran dan majalah yang sedikit, penerbitan nasional ini merupakan penerbitan yang paling populer di pedalaman. Koran-koran ini isinya hampir sama, seringkali pula dengan opini dan editorial yang sama yang bukan cuma menjelaskan pandangan partai mengenai isu-isu politik tertentu akan tetapi juga bertindak, dalam tradisi Leninis yang terbaik,sebagai "kolektif propagandis, kolektif agitator dan kolektif organisatoris".Majalah mempunyai kebebasan sebagai "press kelas dua", karenanya mereka dapat membuat variasi gaya dan rasio propaganda mereka dalam bentuk ceritacerita, hiburan. Dari tahun 1986 sampai 1988 Mikhael Gorbachev menanamkan orang-orang yang secara politis setia kepadanya sebagai editor-editor disurat kabar besar, sehingga peran pers pusat menjadi penting untuk meningkatkan reformasinya. Sebagaimana yang bisa dibaca di mana-mana penerbitan nasional dapat dipakai untuk berhubungan dengan masyarakat tanpa harus melewati hambatan oposisi. Kolom surat-surat pada redaksi mereka menjadi jalan yang siap untuk menampung partisipasi mereka dalam perestroika. Prestise dan kebebasan yang diberikan oleh Kremlin pada para jurnalis membuat mereka ini menjadi sekutu alami. Tiba-tiba datang kejadian yang tidak diharapkan oleh para birokrat. Undangundang mengenai Pers dan Media Masa lain dari USSR mengharuskan semuapenerbitan di daftarkan secara resmi dengan badan-badan negara. Pada dasarnya, prosedur ini memberi kesempatan bagi star redaksi untuk mencari dan mendaftarkan"pendiri" yang mungkin berbeda dari majikan lama mereka, atau bahkan mungkin mendaftarkan koran-koran itu atas nama mereka sendiri. Tindakan ini menciptakan ancaman nyata pertama kali atas piramida tersebut dengan cara memisahkan outletoutlet yang baru bebas dari garis komando yang lama. Pada saat yang bersamaan,para redaktur yang berani dan orang-orang kaya baru mulai mengisi kekosongan kekosongan ini. Letupan kedua terjadi pada tahun 1991 dengan adanya larangan terhadap Partai Komunis dan nasionalisasi yang dilakukan terhadap hak milik mereka. Hal ini melahirkan pendaftaran kembali ribuan penerbitan. Beberapa diantaranya milik partai komunis terutama tingkat propinsi didatarkan dengan nama berbeda (kata-kata seperti "kommunist" , "pravda" dan "sovetsky" sudah menjadi usang); disampirlg itu beberapa yang lainnya memakai susunan redaksi yang berbeda, dan yang pasti mereka semua membebaskan diri dari penguasa mereka karena partai yang menguasainya tidak lagi berkuasa.Dengan dicabutnya tonggak pemersatu ini, keseluruhan sistem pers pusat lokal menjadi ambruk karena mekanisme partai yang mendukungnya lenyap. Dalam beberapa hal negara mencoba untuk meniru sistem lama dengan menciptakan struktur yang serupa dengan struktur pemerintah dan pers di Moskow dan di republik-republik tetapi dengan atmosfir otonomi yang lebih besar dari pemerintahan lokal dan pengurangan jepitan politik (dan, sampai batas tertentu, keinginan politis) untuk menjalankan tekanan tersebut tetapi hal itu tidak membawa hasil.
Tahun 1989 dan 1990 merupakan puncak popularitas bagi media masa pada
tahun-tahun setelah Perestroika dimulai. Saat itu merupakan saat masyarakat
mempunyai harapan-harapan politik tertinggi: saat Kongres Pembantu-pembantu
Rakyat diamati langsung di televisi dan didengarkan di radio dengan perhatian yang
begitu tinggi sehingga penurunan tajam angka-angka produksi industri dicatat selama hari-hari tersebut. Dapat dikatakan itulah masa "keracunan" dengan
Glasnost. Tiga tahun berikutnya terlihat pertumbuhan ketidak percayaan media terhadap kemunduran apatisme politik umum dan krisis ekonomi yang serius.
Faktor terakhir ini menyebabkan keluarga tradisional untuk mengurangi langganan penerbitan mereka dari lima atau enam menjadi hanya satu penerbitan
saja. Media tidak lagi dipandang oleh masyarakat sebagai sumber bantuan dan harapan atau sarana untuk mengutarakan pendapat mereka. Pada tahun 1988 mulai ada kecenderungan untuk lebih menyukai pers lokal dibandingkan dengan pers pusat. Pertama kali, hal itu terlihat jelas di republik-repubik Persatuan yang
pemikiran rakyatnya didorninasi oleh faham "nasionalisme". Dengan bertambahnya
kebebasan yang diperoleh dari Moskow, maka terciptalah kebutuhan untuk kisahkisah nasionalisme yang memberikan jalan bagi ketertarikan pada berita-berita lokal. Riset menyatakan bahwa perhatian terhadap masalah-masalah dunia atau politik nasional telah menurun dengan tajam pada dua tahun terakhir ini.
Kebanyakan orang Rusia pertama dan terutama ingin membaca hal-hal yang
berkenaan dengan biaya hidup dan kriminalitas dengan kata lain, persis dengan apa yang disajikan oleh pers lokal. Salah satu dari topik-topik yang kurang populer
adalah masalah-masalah kesukuan, kehidupan di republik-republik lain bekas USSR
dan politik luar negeri yang kesemuanya sangat menonjol di penerbitan nasional.

Siapa Yang Memiliki Pers?

Sebagaimana yang diutarakan di atas, pers di USSR dimiliki oleh Soviets,
aparat negara, dan organisasi umum (semuanya dikendalikan oleh Partai Komunis),
atau langsung oleh partai, atau oleh kombinasi dari ketiganya. Dengan tumbangnya
penguasa komunis, Soviet dan lembaga-lembaga negara menjadi pemilik utama,
terutama pada tingkatan lokal. Pada tahun 1993 ada sebanyak 200 koran partai, 12 diantaranya diterbitkan di Moskow dan 18 di St. Petersburg. Kebanyakan partai-partai tersebut berhasil. menerbitkan hanya beberapa edisi dari koran atau buletin mereka sebelum kemudian rontok.Evaluasi kasar dari struktur kepernilikan pers Rusia menunjukkan bahwa 29% koran nasional dimiliki pemerintah federal, 30% menjadi milik organisasi publik dan partai, dan 41 % milik swasta; 21 % koran regional yang dimiliki pemerintah federal sementara 22% dimiliki swasta; sedangkan pers tingkat kota, 85% dimiliki oleh pemerintah kota sedang sisanya dimiliki oleh swasta atau umum. Dari semua koran yang tercatat di Rusia pada tahun 1993, 57,1% merupakan milik pribadi, 23,1% milik negara (5.8% milik pemerintah kota), dan 19,8% milik organisasi umum dan partai politik (Bekker & Gurevich, 1993).
Masalah subsidi menampilkan aspek yang paling pelik dan rawan dalam
hubungan antara negara dan media masa di Rusia. Di satu sisi, ketergantungan
finansial dari pers terhadap negara memberikan dasar yang penting untuk
mempertanyakan independensi media, obyektifitas dan keseimbangan pelaporan. Disisi lain, beberapa pihak mengatakan bahwa pers dan penyiaran, apabila
diperhatikan, bukan hanya berupa alat politis atau usaha komersial saja akan tetapi
juga merupakan lembaga yang memberikan keuntungan kultural dan pendidikan
bagi masyarakat yang harus menikmati perlindungan dari negara. Idealnya prioritas bantuan diberikan pada surat kabar-surat kabar yang ditujukan untuk anak-anak dan pemuda, orang cacat, kelompok minoritas dan majalah-majalah sastra dan kebudayaan. Bersamaan dengan itu, berdasarkan keputusan-keputusan terpisah dari pemerintah, donasi yang besar diberikan kepada koran-koran dengan sirkulasi besar yang bekerja untuk apa yang dinamakan "ruang informasi bersama" di bekas Uni Sovyet, seperti Trud dan Komsomolskaya pravda.
Angka yang pasti dari subsidi tersebut tidaklah tetap. Salah satu alasannya
adalah bahwa anggaran tersebut terus menerus direvisi dengan mempertimbangkan inflasi saat itu yang mencapai hampir 1 % setiap hari. Lebih-Iebih lagi, pejabat pemerintah memberikan angka yang berbeda-beda satu sama lain. Disamping itu, penerbit-penerbit penerima subsidi lebih suka untuk menekan angka-angka atau mengatakan bahwa mereka tidak dapat memperoleh jumlah yang dialokasikan sementara itu pesaing-pesaing mereka cenderung untuk menggelembungkannya.Secara hypotetis dapat dikemukakan bahwa ketergantungan media pada subsidi dapat berbalik akibatnya pada pemerintah sendiri apabila kebutuhan pers terhadap injeksi anggaran tidak dapat dipenuhi. Kemudian "kekuatan keempat ini" akan mendukungkekuatan oposisi dan berusaha untuk menegakkan pemerintahan yang lebih memperhatikan kebutuhan mereka.
Distribusi nasional pers di Rusia adalah monopoli. Distribusi dikuasai oleh Rospechat (Pers-Rusia), badan semi independen di bawah Kementerian Komunikasi. Argumentasi yang pantas di sini menunjukkan bahwa Rospechat, dilihat oleh badanbadan negara sebagai badan usaha kebanyakan, yang membayar semua mpelayanannya dengan tarif yang sama, misalnya, dengan restoran atau hotel untuk turis asing. Pengiriman sebuah koran, yang dibayar oleh seorang pelanggan, jarang sekali dapat dikover oleh badan tersebut. Kerugian seperti ini biasanya ditutup oleh keuntungan dari pelayanan telekomunikasi, tetapi saat itu ditutup dengan surat keputusan presiden, sejak 1993 pelayanan-pelayanan ini dibebaskan dari kantor Pos.
Sampai awal 1990 an sistem kantor berita di USSR terdiri atas TASS
(Telegraph Agency of the Soviet Union) dengan 14 anak perusahaannya di republik
Persatuan dan Novusti Press Agency. Saat ini, Rusia saja mempunyai 400 kantor
berita. Dengan runtuhnya USSR, TASS berubah menjadi the Information Telegraph
Agency of Russia, IT AR- TASS, memakai singkatan TASS sebagai trademark yang
sudah dikenal saja. Selama berpuluh tahun setelah pendiriannya di tahun 1925.
TASS berada dibawah pengawasan Dewan Menteri USSR, kemudian dibawah
Presiden USSR, pada tahun 1991 menunjuk bekas Sekretaris Persnya Vitaly
Ignatenko sebagai Direktur Jendralnya. Pada saat keemasannya di pertengahan
1980 an, TASS mempunyai biro-biro dan koresponden di 110 negara aging (saat ini
hanya tinggal 75 negara), menjadi sumber informasi utama bagi rakyat Sovyet
tetang kehidupan di luar negeri dan peristiwa-peristiwa di dalam negeri; saat itu
merupakan salah satu kantor berita lima besar dunia.
Kantor berita ini masih merupakan badan setengah resmi yang dipakai oleh
pemerintah Rusia untuk membuat pandangan-pandangannya diketahui secara luas
oleh publik dunia, disamping untuk mengedarkan dokumen-dokumen resmi.
Yang akan kita saksikan dimasa yang akan datang adalah kelahiran dan
penguatan dari kantor-kantor berita tingkat lokal, yang dilihat oleh parlemen dan
pemerintah bekas republik-republik otonomi sebagai bagian yang paling penting dari kedaulatan mereka yang sedang tumbuh. Di tahun-tahun akhir 1980 an pers Rusia memperoleh tingkat kebebasan yang tak pernah dicapai sebelurnnya selama hampir tiga abad; beberapa analis bahkan menyebut tahun-tahun perestroika sebagai "zaman keemasan" (Tolz, 1992).Akan tetapi, sejak 1990, keadaan dari media cetak memburuk disebabkan oleh tekanan ekonomi dan ketergantungannya yang bertambah parah kepada subsidi pemerintah. Sampai saat ini hanya beberapa penerbitan yang telah mencapai kemerdekaan finansial dari pemerintah atau kelompok politik tertentu yang melihat mereka (dalam tradisi lama negara itu) sebagai corong ke masyarakat dan sebagai alat untuk penguasaan politik. Tugas untuk menyusun dan memperkuat masyarakat demokratis, merupakan persyaratan bagi kebebasan mereka yang sebenarnya dan abadi, memerlukan tanggung jawab dan mempunyai efek dibandingkan penggulingan mesin komunis.

Penutup
Kesimpulan yang bisa ditarik dari pembahasan di atas, sistem pers soviet
menganut beberapa prinsip sebagai berikut:
1. Media Massa harus melayani kepentingan dan, dan berada dalam kontrol kelas
pekerja.
2. Kalangan swasta tidak dibenarkan memiliki media.
3. Media harus selalu melakukan tugas fungsi positif bagi masyarakat dengan cara
melakukan upaya sosialisasi norma-norma yang diinginkan, pendidikan,
penerangan, motivasi dan mobilisasi.
4. Dalam menjalankan seluruh tugasnya kepada masyarakat, media harus tanggap
terhadap kebutuhan dan keinginan khalayaknya.
5. Masyarakat berhak melakukan sensor dan tindakan hukum lainnya dalam upaya
mencegah atau memberikan hukuman setelah terjadinya peristiwa publikasi yang
bersifat anti-sosial.
6. Media harus memberikan pemikiran dan pandangan yang lengkap dan objektif
mengenai masyarakat dan duma yang sesuai dengan ajaran Marxisme-Leninisme.
7. Wartawan adalah kalangan profesional yang bertanggung jawab yang memiliki
tujuan dan cita-cita yang selaras dengan kepentingan utama masyarakat.
8. Media harus mendukung gerakan-gerakan progresif di dalam dan di luar negeri


Teori Tanggung Jawab Sosial
(Social Responsibility Theory)

Pers sebagai suatu sistem sosial selalu tergantung dan berkaitan erat dengan
masyarakat dimana ia beroperasi. Pers itu sendiri lahir untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat akan informasi sehingga ia berkedudukan sebagai lembaga masyarakat
(institusi sosial). Sementara itu segala aktivitas pers tergantung pada falsafah yang dianut oleh masyarakat dimana pers itu berada. Lyod Sommerlad menyatakan, sebagai institusi sosial, pers mempunyai fungsi dan sifat yang berbeda tergantung pada sistem politik, ekonomi dan struktur sosial dari negara dimana pers itu berada. Hal senada disampaikan John C. Merril, "A nation's press or media closely tied to the political system." (John C. Merril, "A Conceptual Overview of World Journalism" dalam International Intercultural Communication, Heinz Dietrich Fischer & John C. Merril, Hasting House Publisher, New York) Bagi Siebert, Peterson dan Schramm, buku Four Theories of the Press mencoba memahami mengapa negara-negara yang berbeda memiliki pola hubungan yang berbeda pacta medianya. Pers selalu mengambil bentuk dari struktur sosial dan politik dimana pers itu beroperasi atau dengan kata lain, mempelajari suatu masyarakat dan sistem politiknya kita akan belajar memahami mengapa persnya menjadi sedemikian rupa.
Jika ditelaah lebih jauh, tambah mereka dalam bagian pengantar buku
tersebut, dunia barat sesungguhnya hanya mengenal dua dari teori pers, model
autoritarian dan libertarian. Soviet Communist model, menurut mereka, merupakan
variasi dari autoritarian sementara social responsibility model adalah perkembangan/ peningkatan dari libertarian.
Dasar pemikiran utama dari teori ini ialah bahwa, kebebasan dan kewajiban
berlangsung secara beriringan dan pers yang menikmati kedudukan dalam
pemerintahan yang demokratis berkewajiban untuk bertanggung jawab kepada
masyarakat dalam melaksanakan fungsinya.Pada hakikatnya fungsi pers dalam teori tanggung jawab sosial ini tidak berbeda jauh dengan yang terdapat pada teori libertarian namun pada teori yang disebut pertama terefleksi semacam ketidakpuasan terhadap interpretasi fungsifungsi tersebut beserta pelaksanaannya oleh pemilik dan pelaku pers dalam model libertarian yang ada selama ini.
penganut libertarian mempercayai bahwa orang dapat mengetahui kebenaran
saat mereka boleh memilih dan pers sebagai penyedia ide-ide/pasar ide. Mereka
percaya bahwa media itu beragam dan independen dan orang-orang memiliki akses
ke media.Namun kenyataan yang terjadi adalah pers itu menjadi berorientasi profit,
dimana lebih mengutamakan penjualan dan iklan di atas kebutuhan untuk menjaga
publik mendapat informasi lengkap dan akurat sehingga membahayakan moral
publik, melanggar hak-hak pribadi dan dikontrol oleh satu kelas sosioekonomi, yaitu kelas bisnis yang membahayakan pasar ide yang bebas dan terbuka.
Teori tanggung jawab sosial berasal dari Commission on Freedom of the Press
(Hutchins, 1947) sebagai reaksi atas interpretasi dan pelaksanaan model
libertarian yang ada. Komisi tersebut merumuskan beberapa persyaratan pers
sebagai berikut:
1. Memberitakan peristiwa-peristiwa sehari-hari dengan benar, lengkap dan
berpekerti dalam konteks yang mengandung makna.
2. Memberikan pelayanan sebagai forum untuk saling tukar komentar dan kritik.
3. Memproyeksikan gambaran yang mewakili semua lapisan masyarakat
4. Bertanggung jawab atas penyajian disertai penjelasan mengenai tujuan dan nilainilai masyarakat
5. Mengupayakan akses sepenuhnya pada peristiwa sehari-hari
Secara umum suatu berita haruslah mendukung konsep non-bias, informatif
dan institusi pers independen yang akan menghindari penyebab ancaman terhadap
kaum minoritas atau yang mendorong tindak kejahatan, kekerasan dan kekacauan
sipil. Tanggung jawab sosial seyogyanya dicapai melalui self control/kontrol diri (dari pers itu), bukan dari pemerintah. Tanggung jawab sosial jika dikaitkan dengan jurnalis melibatkan pandangan yang dimiliki oleh pemilik media yang serta merta akan dibawa dalam media tersebut haruslah memprioritaskan tiga hal yaitu keakuratan, kebebasan dan etika.Tak pelak lagi profesionalisme menjadi tuntutan utama disini. Jadi pelaku pers tidak hanya bertanggung jawab terhadap majikan dan pasar namun juga kepada masyarakat.
Dalam konsep tanggung jawab sosial media dituntut sebagai berikut:
- Menerima dan memenuhi kewajiban tertentu kepada masyarakat, dimana
kewajiban itu dipenuhi dengan menetapkan standar yang tinggi atau profesional
tentang keinformasian, kebenaran, ketepatan, objektivitas dan keseimbangan.
- Media juag harusnya dapat mengatur diri sendiri dalam kerangka hukum dan
lembaga yang ada
Secara singkat teori tanggung jawab sosial ini dapat disimak dalam bagan
berikut ini :

Teori Tanggung Jawab Sosial
Masa berkembangnya Di AS pada abad ke-20 Pelopor Commission on Freedom of Fress Tujuan Utama Memberi informasi, menghibur, menjual
(komersil) namun terutama untuk membangkitkan konflik yang membentuk diskusi
Siapa yang berhak menggunakan media ? Setiap orang yang memiliki sesuatu yang ingin dikatakan Bagaimana media dikontrol ? Opini publik, aksi konsumen, etika
Profesi Kepemilikan Swasta, kecuali jika pemerintah mengambil alih untuk memastikan pelayanan publik Perbedaan mendasar dari teori-teori lain Media harus mengambil kewajiban dari tanggung jawab sosial, dan jika mereka
lalai, harus ada yang memastikan mereka melaksanakannya Jika teori libertarian dilahirkan dari konsep kemerdekaan negatif, yang didefinisikan sebagai kemerdekaan dari/kebebasan dari pengekangan eksternal sedangkan teori tanggung jawab sosial berpijak pada konsep kebebasan positif, yaitu kebebasan untuk menghendaki menjadi sarana untuk mencapai tujuan yang diinginkan.